Selasa, 29 Desember 2009

Selagi Mampu, Sedekahlah

Sering kita tidak menyadari kerap menunda untuk bersedekah dengan beragam alasan, “Besok sajalah, sekarang sedang sibuk”, “Nanti kalau semua tagihan sudah terbayar, lihat sisanya baru disedekahkan” atau, “Nanti dulu deh, masih banyak kebutuhan bulan ini. Mudah-mudahan bulan depan ada rezeki lebih bisa buat sedekah…”

Sebelum kita terus menerus mencari alasan untuk menunda bersedekah, saya ingin berbagi kisah tentang seorang kawan yang bercerita tentang Ayahnya. Ini bukan sebuah bentuk keluhan si anak terhadap Ayahnya, melainkan pelajaran berharga yang diterima anaknya dari apa yang Ayahnya lakukan setiap saat di masa tuanya. Menurut kawan saya ini, setidaknya setiap bulan sekali Ayahnya selalu minta sejumlah uang kepada anaknya untuk bisa bersedekah. Ia sama sekali tidak merasa keberatan dengan permintaan tambahan dari Ayahnya ini meski setiap bulan ia juga telah menyisihkan rezekinya untuk biaya hidup orang tuanya.

Alhamdulillah, ia selalu bisa memenuhi apa yang diinginkan orang tuanya, termasuk saat ia menghajikan kedua orang tuanya beberapa tahun silam. Setiap tahun ia memiliki rezeki untuk berqurban pun, tak pernah lupa ia memberikan seekor hewan qurban atas nama Ayah atau ibunya. Dalam kesempatan lain, misalnya ketika ada acara santunan anak yatim dan dhuafa, Ayahnya selalu minta kepada kawan saya untuk mengeluarkan uang santunan dan diatas namakan Ayahnya.

Pernah suatu hari, malam-malam Ayahnya menelepon agar anaknya segera menyetor sejumlah uang. “Besok warga berkumpul, untuk masing-masing bisa menyumbang untuk renovasi masjid. Ayah malu kalau tidak bisa menyumbang apa-apa…” Beruntung kawan saya ini sedang ada rezeki, sehingga pagi harinya ia bisa mengirim uang senilai yang diharapkan Ayahnya. Di hari lain, si Ayah pun berharap anaknya mau membelikan beberapa puluh pasang sepatu untuk anak yatim di sekitar rumahnya. Ayah kawan saya ini sangat ingin dekat dengan anak yatim, terlebih di masa tuanya yang sudah tidak disibukkan dengan berusaha mencari nafkah dan urusan dunia lainnya. Semua itu tentu saja atas nama sang Ayah, meski uangnya dari anaknya.

Belum lama, lagi-lagi Ayahnya memerlukan sejumlah uang yang tidak sedikit. Rupanya, ia punya keinginan lama yang belum sempat diwujudkan, yakni mengundang sekitar seratus warga dhuafa di lingkungan rumahnya untuk makan bersama, walau sekadar kecil-kecilan. “Sudah lama Ayah ingin mengundang mereka makan di rumah kita, cita-cita ini sudah pernah Ayah utarakan ke ibumu dulu waktu kau masih sekolah” ujar sang Ayah.

Ia Ayah yang beruntung, memiliki anak-anak yang tak pernah mengeluh memenuhi keinginan orang tuanya. Kawan saya, beserta adik-adiknya bergantian mencukupi keperluan orang tua termasuk beragam keinginan beramal shalih dan sedekah sang Ayah. Santunan anak yatim, berqurban, berhaji, memberi makan fakir miskin, ditambah sedekah harian untuk setiap pengemis yang mampir ke rumahnya atau ia temui di jalan, semuanya disediakan oleh anak-anaknya.

Suatu hari, kawan saya pernah bertanya kenapa Ayahnya begitu menggebu untuk terus menerus bersedekah di hari tuanya. Jawaban sang Ayah atas pertanyaannya itulah yang membuat kawan saya ini tak pernah mengeluh jika sang Ayah meminta bantuan untuk memberi sedekah. Bukankah dengan membantu sang Ayah bersedekah maka iapun akan mendapat nilai yang sama baiknya dengan sang Ayah? Allah pasti tahu, jika sedekah atas nama dirinya menjadi berkurang lantaran ia lebih sering bersedekah untuk dan atas nama Ayahnya.

Untuk pertanyaan yang diajukan kawan saya itu, sang Ayah mengungkapkan bahwa ia dulu termasuk orang-orang yang sering menunda bersedekah. Bahkan karena terlalu sering menunda sedekah, uangnya justru terpakai untuk kebutuhan lain. Niat bersedekahnya tinggal niat, karena lebih sering tidak terlaksana karena kerap dengan sengaja ditunda-tunda. Ia yang berpikir akan selalu ada kesempatan berikutnya untuk beramal salih, zakat, infak dan sedekah, sekarang menyesali keadaannya yang tak memiliki kesanggupan untuk banyak bersedekah. Ia yang selalu mengira di masa tua akan bisa menikmati berdekatan dengan Allah dengan memerbanyak ibadah dan banyak bersedekah, justru terus menerus diselimuti kecemasan karena merasa sedekahnya sangat kurang.

Padahal selagi masih produktif, Ayahnya tergolong orang sukses dan bisa banyak mengunjungi panti asuhan dimanapun. Selagi masih berpenghasilan, Ayahnya termasuk orang yang mampu menyantuni ratusan anak yatim setiap bulan, namun sering lupa ia tunaikan. Selagi masih muda dengan karir yang bagus, sangat mudah bagi sang Ayah untuk bersedekah terus menerus tanpa henti. Penghasilannya yang jauh di atas rata-rata orang di sekitarnya kala itu, semestinya bukan hal sulit bagi Ayahnya untuk berderma kepada fakir miskin.

Nyatanya, waktu benar-benar cepat berlalu. Rasanya baru kemarin ia mengira akan ada waktu di hari esok untuk beramal salih, kiranya baru kemarin ia berkata, “besok saja saya bersedekah”, hari ini usianya sudah tak lagi produktif mencari nafkah, bahkan ia harus menggantungkan hidupnya kepada anak-anaknya. Ia mengira waktu masih akan sangat panjang baginya, ia menyangka akan ada waktu di masa tua untuk perbanyak bekal menuju kampung akhirat. Di matanya, baru kemarin ia masih memiliki penghasilan memadai untuk membeli segala yang ia inginkan. Sekarang, untuk bersedekah pun harus mengandalkan anak-anaknya.

“Selagi masih kaya, selagi masih muda, selagi masih produktif, banyak-banyaklah beramal shalih dan bersedekah, atau kamu akan menyesal seperti Ayah yang sudah setua ini namun baru menyadari bahwa bekal Ayah sangat kurang untuk berjumpa dengan Allah…” ujar kawan saya menirukan kata-kata Ayahnya.

Sobat, senang rasanya bisa membagi kisah ini, sesenang ketika saya mendapat cerita ini dari kawan saya itu. Mumpung masih muda, mumpug masih punya harta, sedekahlah. Jangan tunggu saat kita bingung dan sedih lantaran tak memiliki apapun untuk dibagi. Belum tentu kelak di masa tua kita seberuntung Ayah kawan saya, yang memiliki anak-anak berjiwa dermawan. (Gaw)

Tidak ada komentar: