Senin, 15 Desember 2008

Hati Ibarat Cermin

Mari kita bandingkan dua buah cermin. Cermin tersebut dibuat pada waktu yang sama, ditempatkan di tempat yang sama, bahkan menerima pencahayaan dan suhu udara yang sama. Yang membedakan hanyalah dua orang manusia yang memilikinya.Yang pertama, malas sekali membersihkannya. Setiap ada setitik debu menempel di cermin, dia biarkan. Bahkan cipratan tinta yang mengenai cermin pun dia enggan membersihkannya. Dia sama sekali tidak pernah mau sekedar menghapus, atau menggesek cermin kesayangannya itu dengan lap bersih atau air bersih. Segala noda dia biarkan menempel di cermin. Awalnya cipratan tinta itu mungkin hanya setitik, dua titik, lalu tiga titik, hingga selanjutnya mengendap menjadi gumpalan tinta yang sudah mengering di permukaan cermin. Sampai-sampai, si pemiliknya sendiri tidak bisa bercermin pada cerminnya sendiri. Dia tidak bisa melihat apakah dirinya baik, atau jelek, saat berdiri di depan cermin. Lama-lama, cipratan-cipratan tinta itu pun menjadi karat. Dan cermin sudah tidak berfungsi baik lagi. Bahkan, kadang-kadang, karena telah ternodai oleh gumpakan tinta yang mengarat, cermin memantulkan kebaikan menjadi kejelekan, atau kejelekan menjadi kebaikan. Karena sudah mengarat, cermin pun susah untuk dibersihkan. Yang kedua, merawat cerminnya dengan baik. Setiap ada setitik cipratan tinta, meskipun sedikit, dia langsung membersihkannya. Menggosoknya dengan lap dan air yang bersih. Sehingga cermin setiap harinya selalu jernih, mampu memberinya pengetahuan tentang sebaik/seburuk apa dirinya jika berdiri di depan cermin tersebut. Sehingga cermin bisa membuatnya selalu mengoreksi setiap kesalahan dalam penampilannya. Rajin-rajinlah membersihkan hati kita, karena jika tidak, niscaya dosa-dosa itu semakin lama akan semakin menumpuk dan menutupi cahayanya. Yang lebih menakutkan, noda-noda dosa itu bisa membolak-balikkan fakta. Yang benar jadi batil, yang batil jadi benar. Na'udzubillah... Setiap hari, carilah pengampunanNya. Istighfar, bukan hanya di mulut saja. Namun penyesalan terdalam akan semua kekhilafan yang kita lakukan. Setiap dosa adalah bahaya. Meski sepatah kata atau sekelebat lirikan mata, itu awal dari noda yang bisa menjadi karat jika tidak cepat-cepat dibersihkan.Ada pepatah, "Menyesali sebelum melakukan adalah keberuntungan, dan menyesal setelah kejadian adalah ketidakbergunaan." Intropeksi diri, beristighfar setiap waktu, adalah lebih baik daripada terlanjur melakukan kekhilafan. Allah memang Maha Penerima Taubat, tapi urusan kita adalah untuk selalu menjaga diri dari dosa.
Sumber:internet

Kau

Ketika kau datang..... Hiruk pikuk suara menyambutmu
Ketika kau tersenyum....... Cahaya ceria menebar kemana-mana
Ketika kau berbicara..... Semua mata hati terpana karenanya
ketika kau tertawa........ Damai dunia rasanya..
Kau......
Adalah cahaya
Adalah bunga
Adalah air
Kau,...Ketika terluka.......... Kau tetap datang dan tersenyum..
Ketika tersiksa..... Kau tetap ada dengan senyum dan sebongkah kata-kata indahmu
Ketika kau berduka.... kau tetap dengan kata-kata bijakmu dan canda tawamu
Kau.....
Begitu banyak orang yang mendatangimu
Begitu banyak temen yang merangkulmu
Begitu banyak anak yang mencintamu...
Kau.......
Mampukah aku......
Mampukah kita.......

Andai aku jadi kau.........

Kamis, 27 November 2008

Senior Selalu Benar?

Saya pernah menabrak sebuah angkutan kota atau biasa disebut ‘angkot’. Motor saya hancur, begitu juga kaca bagian belakang angkot tersebut. Nahasnya, saat itu saya tak sadarkan diri setelah terbang beberapa meter dan terjerembab di selokan pinggir jalan raya. Hasilnya, pergelangan kiri saya patah dan terdapat banyak memar di sekujur tubuh.

Bukan soal lukanya yang menarik untuk diceritakan, melainkan komentar teman saya beberapa hari usai kecelakaan tersebut. “Yang salah kamu, kenapa naik motor di belakang angkot?” Saya tidak terima, “Jelas-jelas angkot itu ngerem mendadak lantaran mau ambil penumpang tapi tidak menepi terlebih dulu…”

Lalu teman saya berujar, “Bukankah dari jaman Belanda menjajah negeri ini kelakuan sopir angkot sudah seperti itu? Makanya belajar sejarah…” Saya hanya bisa geleng-geleng kepala pertanda tak setuju.

Intinya, menurut teman saya itu, kalau mobil kita diserempet angkot yang salah tetaplah bukan angkot, “siapa suruh dekat-dekat angkot?” kilahnya. Terus, kalau sering dibuat kesal harus ngerem mendadak gara-gara angkot yang kerap berhenti seenaknya, lagi-lagi yang salah bukan angkot, melainkan orang yang berkendara di belakang angkot.

Begitu pula ketika sebuah angkot yang ‘ngetem’ bikin macet sepanjang ratusan meter, tiba-tiba seorang pengendara mobil yang melintasi angkot tersebut berteriak, “Sopir g****k! Minggir dong…”. Sudah tahu kan jawaban sopir angkot? “Kalau pintar, saya nggak jadi sopir angkot”

Kisah lain tentang seorang Kyai di sebuah Pesantren di Subang, Jawa Barat. Suatu hari saya dan beberapa teman menumpang sholat maghrib di pesantren tersebut. Saat itu, Kyai yang merupakan pendiri sekaligus pimpinan pesantren yang memimpin sholat melakukan kekhilafan, sholat maghrib hanya dilakukan dua rakaat. Serempak, saya dan beberapa teman mengucap “Subhanallah” saat Pak Kyai mengucap salam sebagai tanda akhir sholat, padahal baru rakaat kedua. Berkali-kali kami mengucap “Subhanallah” untuk mengingatkan, dan anehnya Kyai tenang saja dan tidak merasa ada yang kurang.

Yang lebih aneh lagi, selain kami, tidak ada satupun jamaah yang turut mengingatkan kurangnya rakaat itu kepada Pak Kyai, termasuk para ustadz dan santrinya. Bahkan usai kami menyelesaikan rakaat ketiga, seorang ustadz menghampiri dan berbisik, “Kalau Kyai salah tidak perlu diingatkan, kami beranggapan kalau Kyai khilaf itu berarti Allah memang berkehendak demikian”.

Masya Allah, jadi sebenarnya para ustadz dan santri itu menyadari kekeliruan Pak Kyai. Hanya saja selain mereka sungkan lantaran menilai Kyai itu memiliki kelebihan ilmu dan kemuliaan, kekeliruan Pak Kyai pun dianggap satu kehendak Allah.

Masih berkenaan dengan kesalahan atau kekeliruan, kita tentu pernah mendengar kalimat seperti ini, “Pasal satu; senior selalu benar. Pasal dua; jika senior melakukan kesalahan, lihat pasal satu”.

Konon, mulanya dua pasal kramat itu berlaku di lingkungan militer. Soal kebenarannya, saya tidak berani memastikan. Tetapi pasal ini sangat terkenal dan bukan hanya berlaku di lingkungan militer. Ketika saya mengikuti masa orientasi dan pengenalan kampus awal tahun 1990-an silam, pasal ini pun berlaku hebat. Sehingga para senior saya bebas melakukan tindakan sewenang-wenang dan sesukanya kepada para junior.

Aksi balas dendam pun menjadi turun temurun diwariskan dalam lingkungan yang menerapkan dua pasal ini. Baik di lingkungan militer, kampus semi militer, sampai kampus dan sekolah menengah umum yang tidak ada hubungannya dengan militer. Saya tidak tahu apakah pasal sakti ini masih dipakai di lingkungan militer, kampus atau sekolah?

Dari tiga kasus di atas, bisa diambil pelajaran yang menarik untuk dikupas secara singkat. Tiga jenis orang yang melakukan kesalahan, pertama; orang yang sudah biasa melakukan kesalahan, sehingga kesalahan demi kesalahan dianggap wajar dan biasa oleh orang lain yang melihatnya. Bila ia melakukan kesalahan dan merugikan orang lain, maka yang dirugikanlah yang diminta berdiam diri dan tak perlu melawan atau menasihati yang salah.

Kedua; lantaran dianggap berilmu dan memiliki kemuliaan, kekeliruan dan kesalahan seolah menjadi sesuatu yang muskil dilakukan orang ini. Menasihati atau mengingatkan kesalahan orang ini adalah hal tabu dan menghinakan. Siapapun yang melihat orang ini melakukan kesalahan, harus menutup mulut dan memandangnya secara wajar.

Ketiga, jabatan dan pangkat kerap mempengaruhi nilai-nilai kebenaran. Seringkali seorang bawahan sungkan menegur atau mengingatkan atasannya demi menyelamatkan karirnya, “daripada saya dipecat” alasannya. Tindakan cari selamat pun jadi budaya di berbagai tempat dan lingkungan.

Haruskah dipertahankan kekeliruan seperti ini? Atau justru kita menjadi bagian yang terus menerus membudayakan tradisi ini? Tidak! Sudah waktunya mengungkap kebenaran itu menjadi tradisi, bukan sebaliknya. Sudah saatnya orang yang benar itu lebih berani dari mereka yang melakukan kesalahan. Dan bukan waktunya lagi kita malu menegur orang yang keliru, karena semestinya mereka lah yang malu karena sering berbuat salah. Semoga (gaw)

Jangan dibaca!

Tidak aneh jika mendapati dinding yang penuh coretan tangan iseng, meski di dinding itu sudah ada sebuah peringatan “Dilarang coret-coret”. Semakin dilarang semakin penuh coretannya. Pernah ada anak sekolah yang mencoret bis kota dengan spidol dengan alasan, “Saya cuma menambah coretan yang sudah ada kok…” sambil menunjuk tulisan “dilarang mencoret” yang dianggapnya sebagai coretan pertama.

Kalau ada pojok jalanan, sudut pasar atau tempat-tempat yang dianggap strategis lainnya yang beraroma tak sedap alias bau pesing, selalu saja ada peringatan “Dilarang kencing di sini”. Bukan karena sebelumnya tempat itu selalu jadi tempat aman untuk buang hajat, melainkan memang sampai detik ini masih selalu dipakai oleh mereka yang kesulitan menemukan toilet yang sebenarnya.

Sering juga lihat tulisan “Dilarang dicoba sebelum membeli” di antara tumpukan buah lengkeng di sebuah pusat perbelanjaan. Menarik sekali karena justru tulisan itu dikelilingi orang-orang yang tengah memilih sambil menikmati manisnya buah kelengkeng. Alasannya sih masuk akal, “Kalau manis baru kita beli, makanya dicoba dulu”. Tapi kenapa nyobanya berkali-kali?

Tidak berbeda ketika memberikan larangan kepada anak-anak. Misalnya, “jangan disentuh” pasti disentuh, atau “jangan berisik” justru gaduhnya minta ampun. Dibilang jangan berlari, dia berlari, jangan masuk eh sudah di dalam. Suruh berdiri, dia duduk, begitu juga sebaliknya. Di Mall, seorang ibu yang berpesan “jangan kemana-mana ya nak, diam di sini”, sesaat kemudian kebingungan mencari anaknya ke seluruh sudut Mall.

Akhir pekan kemarin saat menjadi trainer outbound anak-anak SMA, anak-anak yang takut melintasi flying fox dimotivasi tidak dengan cara menyemangati, melainkan diminta untuk menyerah. “Sudah ya, menyerah saja. Daripada ragu-ragu, wajar kok kalau anak-anak takut”. Yang terjadi sebaliknya, ia maju dengan berani dan melewati semua rintangan. Dia bilang, “Siapa yang takut?”

Ini logika terbalik, dilarang justru dilakukan, tidak boleh diartikan sebagai izin, namun ketika diizinkan malah tidak melakukan apa-apa. Perintah tidak digubris, yang tidak diperintah malah dikerjakan.

Secara psikologis, kalimat “jangan”, “tidak boleh” atau “dilarang” mengandung rasa ingin tahu. Anak-anak maupun orang dewasa memiliki kecenderungan yang sama, jika dilarang lantas bertanya, “kenapa?”, maka reaksi selanjutnya adalah melakukan apa-apa yang “tidak boleh” dan “dilarang” itu untuk mengetahui sebab apa sesuatu itu dilarang.

Dilarang main api, maka ada yang nekat main api. Ketika terjadi kebakaran, barulah ia mengerti kenapa main api itu dilarang. Orang belum bisa percaya bahwa membuang sampah sembarangan itu bisa menyebabkan banjir, bahkan menebang pohon secara serampangan akan mengakibatkan banjir bandang. Nanti jika sudah benar-benar terjadi banjir, barulah ia mengerti akibat perbuatannya. Masalahnya, sudah terlambat.

Seperti tulisan ini, meskipun judulnya “Jangan Dibaca”, Anda membaca juga kan? Begitulah kita, selalu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Tidak masalah, sepanjang perasaan itu mampu diarahkan kepada hal-hal yang positif. (gaw).