Sabtu, 24 Januari 2009

Masih Senang Buang Nasi?

Masih senang buang nasi? saya selalu teringat kalimat ini dan rasanya takkan pernah lupa. Adalah ibu yang pernah mengutarakannya dulu saat saya kecil. Setiap kali waktu makan tiba, ibu menyediakan kelima anaknya untuk makan masing-masing sepiring. Dan saya, salah satu dari dua anak ibu yang gemar membuang-buang nasi pada saat makan. Maksudnya, setiap kali ibu luput mengawasi makan kami, saya membuang nasi ke selokan, atau ke tempat sampah dengan berbagai alasan; kenyang, makanan tidak enak, sedang tidak selera makan, atau sekadar mengejar ketinggalan dari saudara-saudara yang lain yang tumpukan nasi di piringnya sudah hampir habis.

Tapi ibu selalu tahu kalau saya melakukan itu, seketika kalimat itu pun terdengar, "masih terus membuang nasi?". Tak hanya itu, seperti penceramah di masjid pada saat sholat Jum'at -begitu saya menilai ibu saat menasehati kami dulu-, tak berhenti bicara sebelum anaknya ini benar-benar menunjukkan penyesalan. Keluarnya khotbah ibu tentang anak-anak terlantar yang bertemu nasi seperti menanti matahari di musim penghujan, mereka yang tak pernah bermasalah soal rasa makanan. Karena masalah mereka bukan pada rasa, tetapi pada wujud fisik makanan yang jarang mereka dapatkan. Berceritalah ibu tentang kaum fakir yang untuk bisa makan sekali sehari, selaut peluh harus terkucur deminya, segunung doa tak henti dipanjatnya untuk sesuap nasi di hari itu, lelah pun tak pernah ada dalam perjalanan panjang mereka mengganjal perut kosongnya.

Lagi-lagi saya membuang nasi, juga diwaktu makan siang bersama abang dan adik. Si bungsu manis dari keluarga kami pun berteriak, "bu, abang buang nasi lagi...". Tiba-tiba saya mendelik dan menampar piring milik si manis. Lalu saya bilang ke ibu, "abang cuma dikit kok, itu buktinya adik yang lebih banyak membuang nasinya," kilah saya tak mau kalah.

Tapi ibu tetap tahu siapa yang bersalah sebenarnya. Saya mendapat hukuman tak mendapatkan makanan untuk malam hari. Di waktu makan malam, saya tak diperkenankan berada di ruang makan. Anak nakal ini diminta untuk merenungi perbuatannya siang hari. Tak banyak yang bisa direnungkan anak sekecil saya waktu itu, selain satu hal yang bisa dirasa; "begini rasanya telat makan..." benar-benar menderita. Saya juga mendapati pelajaran berharga, tidak enak rasanya hanya menjadi penonton orang-orang yang sedang nikmat menyantap makanan, terlebih jika yang dimakan adalah penganan kegemaran saya. Terbersit harap, abang dan adik-adik berbaik hati tak melahap habis semua makanan dan menyisakan sedikit saja untuk saya. Semoga

Ternyata hukuman ibu tak sekejam yang saya kira. Ibu tetaplah manusia paling baik sedunia. Usai waktu makan malam ibu memanggil dan mempersilahkan saya duduk di meja makan. Nasi pun tersedia, semur tahu nikmat buatan ibu yang tadi membuat tenggorokan ini sempat tergelegak pun lahap disantap. Nikmatnya. Ternyata, nasi lebih nikmat untuk dimakan ketimbang dibuang. Dan sungguh, teramat banyak saudara kita yang nyaris tak pernah menikmati makanan senikmat yang kami punya.

***

Sungguh saya tak henti menangis, setiap kali mendengar dan melihat banyak orang membuang makanan yang tak termakan. Setiap kali mendengar bahwa teramat banyak restoran dan hotel yang lebih rela membuang sisa makanan ketimbang membagi-bagikannya kepada orang yang lebih membutuhkan. Setiap kali mendengar berita di televisi tentang orang-orang yang mulai menyantap nasi bekas (aking), atau anak-anak yang menjadikan batang pohon sebagai santapannya, lantaran tak ada lagi yang bisa dimakan.

Miris hati ini, ketika mendengar sekeluarga di Indramayu keracunan setelah menyantap jamur yang diambil dari kebun belakang rumah mereka. Mereka terpaksa makan jamur karena tak lagi ada yang bisa dimakan, dan jamur menjadi pilihan terakhir untuk mengganjal perut kerontang mereka.

Masihkah kita senang membuang nasi?

Bayu Gawtama

Cinta Yang Takkan Pernah (Mampu) Terbayar

Lutfia, bukan siapa-siapa. Tapi ia menjadi seseorang yang akan disebut namanya di Surga kelak oleh Yusuf, anak tercintanya. Dan ia akan menjadi satu-satunya yang direkomendasikan Yusuf, seandainya Allah memperkenankannya menyebut satu nama yang akan diajaknya tinggal di Surga, meski Lutfia sendiri nampaknya takkan membutuhkan bantuan anaknya, karena boleh jadi kunci surga kini telah digenggamnya.

Bagaimana tidak, selama dua hari Lutfia menggendong anaknya yang berusia belasan tahun mengelilingi Kota Makassar untuk mencari bantuan, sumbangan dan belas kasihan dari warga kota, mengumpulkan keping kebaikan dan mengais kedermawanan orang-orang yang dijumpainya, sekadar mendapatkan sejumlah uang untuk biaya operasi anaknya yang menderita cacat fisik dan psikis sejak lahir.

Tubuh Yusuf, anak tercintanya yang seberat lebih dari 40 kg tak membuat lelah kaki Lutfia, juga tak menghentikan langkahnya untuk terus menyusuri kota. Tangannya terlihat gemetar setiap menerima sumbangan dari orang-orang yang ditemuinya di jalan, sambil sesekali membetulkan posisi gendongan anaknya. Sementara Yusuf yang cacat, takkan pernah mengerti kenapa ibunya membawanya pergi berjalan kaki menempuh ribuan kilometer, menantang sengatan terik matahari, sekaligus ratusan kali menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang kering sekering air matanya yang tak lagi sanggup menetes.

Ribuan kilo sudah disusuri, jutaan orang sudah dijumpai, tak terbilang kalimat pinta yang terucap seraya menahan malu. Sungguh, sebuah perjuangan yang takkan pernah bisa dilakukan oleh siapa pun di muka bumi ini kecuali seorang makhluk Tuhan bernama; Ibu. Ia tak sekadar menampuk beban seberat 40 kg, tak henti mengukur jalan sepanjang kota hingga batas tak bertepi, tetapi ia juga harus menyingkirkan rasa malunya dicap sebagai peminta-minta, sebuah predikat yang takkan pernah mau disandang siapapun. Tetapi semua dilakukannya demi cintanya kepada si buah hati, untuk melihat kesembuhan anak tercinta, tak peduli seberapa besar yang didapat.

Tidak, ia tak pernah berharap apa pun jika kelak anaknya sembuh. Ia tak pernah meminta anaknya membayar setiap tetes peluhnya yang berjatuhan di setiap jengkal tanah dan aspal yang dilaluinya, semua letih yang menderanya sepanjang jalan menyusuri kota. Ibu takkan memaksa anaknya mengobati luka di kakinya, tak mungkin juga si anak mengganti dengan seberapa pun uang yang ditawarkan untuk setiap hembusan nafasnya yang tak henti tersengal.

Lutfia, adalah contoh ibu yang boleh jadi semua malaikat di langit akan mengagungkan namanya, yang menjadi alasan tak terbantahkan ketika Rasulullah menyebut "ibu" sebagai orang yang menjadi urutan pertama hingga ketiga untuk dilayani, dihormati, dan tempat berbakti setiap anak. Lutfia, barangkali telah menggenggam satu kunci surga lantaran cinta dan pengorbanannya demi Yusuf, anak tercintanya. Bahkan mungkin senyum Allah dan para penghuni langit senantiasa mengiringi setiap hasta yang mampu dicapai ibu yang mengagumkan itu.

Sungguh, cintanya takkan pernah terbalas oleh siapapun, dengan apapun, dan kapanpun. Siapakah yang lebih memiliki cinta semacam itu selain ibu? Wallaahu 'a'lam

Bayu Gawtama
jelang hari ulang tahun ibu

Guruku Sayang, Guruku Malang

Pak Catur namanya. Saya pernah memperolok-olok guru Bahasa Indonesia itu, bahkan berkali-kali. Tak terhitung kali saya menjelek-jelekkan namanya di belakang dia, bahkan pernah sekali saya berseru kegirangan saat seorang teman berteriak meledeknya. Pertanda saya setuju dan mengamini ledekan teman yang dialamatkan untuk guru berperawakan kurus dan tak tinggi itu.

Jika mengingatnya kembali, saya menyesal telah memperlakukannya dengan tidak hormat. Sepanjang tiga tahun di bangku SMA saya tak pernah melihatnya memakai pakaian bagus, kecuali "seragam" putih biru yang kerap ia kenakan. Jangan-jangan gajinya yang kecil memang tak memungkinkannya membeli pakaian baru, karena untuk makan sehari-hari pun sudah begitu kurangnya. Selama tiga tahun itu pula saya tak pernah melihatnya bertambah gemuk, sejak pertama masuk sekolah itu hingga saya lulus, berat badannya tak bertambah. Jangan-jangan, ia terlalu pusing memutar dan mengatur pengeluaran sehari-harinya dari penghasilannya yang tak seberapa itu. Sepanjang tiga tahun itu pula, bahkan motornya tak pernah ganti. Boleh jadi, motor milik Pak Catur itu motor terjelek yang parkir di halaman sekolah. Kalah mentereng dari motor milik anak-anak didiknya. Saya tak pernah tahu, apakah Pak Catur saat itu berstatus guru bantu atau guru honorer yang lebih sering harus mengurut dada saat menerima imbalan dari jerih payah mengajarnya setiap hari?

"Bu bayar bu, bu bayar..." begitu ledekan saya kepada salah seorag guru SD saya, Ibu Bayyar. Namanya memang demikian, jadi tak sedikit memang siswa di SD itu yang mengolok-olok namanya. Terlebih ketika ia secara inisiatif pribadinya menyelenggarakan program belajar tambahan di luar sekolah (les privat tapi sedikit wajib) di rumahnya. Ibu Bayyar memungut biaya yang sekitar 500 rupiah setiap anak untuk satu kali pertemuan. Waktu itu kami sering menudingnya sebagai "program pengayaan diri".

Tapi kini saya menyesal telah melakukan itu semua. Bu Bayyar tak pernah marah saya meledeknya, ia tetap tersenyum. Barangkali senyumnya itulah yang menutupi kesulitannya selama ini menyambung hidup dengan mengandalkan profesinya sebagai guru. Jangan-jangan Ibu Bayyar termasuk guru bantu atau honorer yang dibayar secara tak manusiawi, sehingga memaksanya mencari tambahan dengan menyelenggarakan les privat.

Tak hanya Ibu Bayyar. Sebagian besar guru di SD, SMP dan SMA waktu itu juga seolah berlomba menjual buku pelajaran, apakah itu merupakan program bersama sekolah maupun program pribadi, apakah buku baru maupun fotocopy-an. Waktu itu saya menanggapinya sinis sebagai bisnis tambahan para guru itu. Pernah sekali saya berpikir, jelas saja banyak siswa di Indonesia sering gagal dalam banyak pelajaran, karena guru-gurunya sibuk berbisnis. Bahkan saya juga mencurigai, tidak majunya pendidikan di Indonesia bisa jadi disebabkan oleh konsentrasi guru-gurunya terpecah, ya mendidik ya bisnis.

Belakangan saya menyadari semua dugaan itu salah. Penghasilan guru yang hanya cukup untuk makan beberapa hari itu lah penyebab sesungguhnya. Bagaimana mereka tak pusing memikirkan bayar listrik, air, atau sewa rumah mereka setiap bulan? dari mana ia mendapatkan uang untuk makan minggu kedua hingga menjelang gajian berikutnya? bagaimana juga mereka menyediakan bayaran sekolah untuk anak-anak mereka sendiri? atau jangan-jangan banyak kasus di negeri ini, bahwa terdapat anak-anak guru yang tak bisa sekolah lantaran tak ada biaya?

Jika kini ratusan ribu guru menuntut hak mereka untuk sekadar dijadikan pegawai negeri sipil, atau menuntut transparansi atas hasil seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil, itu bukan semata tuntutan emosional pribadi. Tangisan mereka adalah cermin luka puluhan tahun menanti sebuah mimpi yang tak pernah terwujud, sebatas harap akan status; pegawai negeri. Mereka tak pernah putus asa berharap perhatian dan kepedulian pemerintah akan nasib para guru yang selalu dianaktirikan. Tenggotakan mereka tak pernah kering untuk tetap menyuarakan impian sederhana mereka, demi mendapatkan jaminan di masa depan.

Sejuta maaf saya untuk semua guru di muka bumi ini, betapa diri ini kurang menghargai semua jerih payahmu. Akankah nasib guru terus seperti ini, hingga suatu saat nanti tak ada lagi yang berkenan menjadi guru karena nasib mereka yang tak pasti? bukankah pemimpin negeri ini dan seluruh orang sukses di muka bumi ini adalah hasil didikan para guru?

Saya yakin masih ada yang akan menjadi guru sampai kapan pun, tapi saya juga berharap mereka tak sekadar mendapat imbalan yang membuat mereka tak bersemangat mendidik anak-anak kita. Sungguh, jika Anda menanyakan kepada para guru, terhiburkah mereka dengan sematan "pahlawan tanpa tanda jasa?"

Bayu Gawtama

Ketika Ada Yang Mati, Untuk Apa Menangis?

Hari ini ada yang meninggal. Kemarin juga ada, hari-hari sebelumnya pun begitu, selalu ada yang meninggal dunia. Sudah pasti, besok juga ada yang akan dijemput malaikat Izrail menghadap Sang Khaliq. Beberapa hari yang lalu, salah satu sahabat yang meninggal. Kemarin lusa, seorang anggota keluarga, hari ini giliran teman sepermainan yang menutup mata. Satu persatu anggota keluarga, teman, sahabat, orang-orang terdekat kita dipanggil Allah.

Setiap kali ada yang meninggal, bisa dipastikan ada yang menangis. Sedih? ya, itu sudah wajar. Tetapi untuk apa menangis? Inilah yang coba kita bahas sedikit. Setiap insan yang hidup akan menangis tatkala orang terdekatnya, mungkin itu isteri, suami, anak, adik, kakak, orang tua, anggota keluarga lainnya, atau sahabatnya pergi untuk selamanya. Air mata akan meleleh, meski dalam kesehariannya ia dikenal sebagai orang kuat, orang hebat, atau orang yang dikenal pantang menyerah. Ada haru, sedih ketika terlintas ribuan peristiwa bersama saat mereka masih hidup. Kemudian mulut pun bergumam, "rasanya baru kemarin kita tertawa bersama..."

Begitu cepat waktu berlalu. Lebih tepatnya, terasa cepat waktu berlalu. Namun memang begitulah waktu, sangat cepat, singkat, tak tertunda dan tak mungkin terulang. Sayangnya, kita selalu dan hanya bisa gigit jari setiap kali sadar betapa banyak waktu yang terlewati tanpa hal bermakna.

Kembali soal kematian. Wajarlah jika orang menangis saat seseorang yang dekat dengannya meninggal dunia. Tetapi jika ada yang menangis saat "bukan siapa-siapa" kita yang meninggal, kenapa?

Setegar apa pun saya, selalu menangis setiap kali ada keluarga, kerabat dan sahabat yang meninggal dunia. Namun ternyata, air mata ini pun meleleh seketika setiap kali saya melihat keranda mayat diusung beberapa orang melintas di hadapan. Entah siapa yang berada di dalam keranda itu, saya tidak pernah mengenalnya. Tetapi tetap saya menangis.

Menangis saya lebih dahsyat lagi di banyak tempat. Setiap kali saya berada di lokasi bencana seperti tsunami, gempa, banjir bandang. Saat menyolatkan para korban gempa, atau korban tsunami, dijejerkan jenazah-jenazah berkafan putih di hadapan saya. Seolah banjir bandang tengah melanda pelupuk mata ini, nyaris tak kuasa saya berdiri, bahkan mata ini tak sanggup terus menerus menatap puluhan dan ratusan jenazah yang terbujur kaku.

Ya Allah. Ternyata mati bisa kapan saja, bisa karena apa saja. Sahabat saya yang sehat-sehat saja, tiba-tiba meninggal dunia. Ratusan ribu orang di Aceh yang sedang beraktivitas pagi, dalam sekejap habis disapu tsunami. Mereka, mereka semua itu, tidak satu pun keluarga dekat saya, boleh jadi tak satu pun yang saya kenal. Bahkan saya tidak pernah mendengar nama dan bertemu langsung dengan mereka. Tetapi kenapa saya menangis?

Ternyata, ada air mata yang berbeda yang keluar dari sudut mata ini. Jika dulu ada anggota keluarga yang meninggal dan saya menangis, itu lantaran saya merasa begitu sayang, cinta, dan dekat dengannya. Saya merasa tak ingin ditinggal. Tetapi sekarang, setiap kali ada yang meninggal dunia, sendirian kah, puluhan orang, bahkan ribuan orang, dikenal maupun tidak, saya tetap menangis. Jelas karena saya begitu takut, sangat takut bahkan.

Ya, saya benar-benar menangis setiap kali ada yang meninggal. Setidaknya mata ini berkaca-kaca. Sebab saya tahu persis, masa saya akan tiba. Meski saya tidak tahu persis, kapan waktunya. Saya benar-benar menangis, setiap melihat keranda mayat, membayangkan suatu saat saya yang berada di dalamnya. Atau saat melihat sesosok jenazah disholatkan, kemudian ditanam di dalam kubur. Saya tahu, pasti saya akan mengalaminya.

Sungguh, saya benar-benar menangis saat saya tahu pasti. Belum banyak bekal yang saya punya untuk perjalanan yang lebih panjang itu. Ampuni saya ya Allah...

Selasa, 06 Januari 2009

Nyalakanlah Api Cinta

Malam itu semua peserta pelatihan saya kumpulkan dan duduk melingkar dalam satu ruangan. Tanpa setitik pun penerangan dalam ruangan tersebut sehingga masing-masing peserta nyaris tak dapat melihat wajah peserta di sebelahnya. Dalam keadaan gelap seperti itu, tak banyak yang bisa dilakukan seseorang. Berjalan pun harus meraba-raba dengan langkah yang tersendat dan penuh hati-hati agar tak menabrak sesuatu atau terjerembab yang menyebabkan luka.

“Apa yang bisa Anda lakukan dengan keadaan seperti ini?,” saya membuka suara di keheningan malam yang terasa semakin pekat.

Beberapa peserta mencoba menjawab seadanya, meski sebagian mereka tak benar-benar tahu dari mana arah suara saya. Saya tak sedang mengajak peserta merasakan bagaimana rasanya tak memiliki penglihatan, juga tak sedang meminta mereka berempati kepada para tuna netra meski hal itu sangat penting untuk dilakukan.

Kemudian salah seorang peserta memecah kebekuan, “Apalah yang bisa saya lakukan tanpa cahaya, semuanya begitu sulit dan mencekam. Dalam keadaan seperti ini saya pasti membutuhkan bantuan orang lain.”

“Anda tak membutuhkan orang lain, yang Anda butuhkan adalah diri Anda sendiri,” tegas saya.

Meski tak dapat melihat dengan jelas raut wajah mereka, namun saya yakin sebagian besar mereka bertanya-tanya maksud pernyataan saya tadi. Ketika seseorang mengaku membutuhkan orang lain dalam kondisi yang pekat, justru saya katakan dia hanya membutuhkan dirinya sendiri.

Sedetik kemudian saya menyalakan sebatang lilin di tangan saya. Setitik cahaya berpendar di wajah saya, teramat kecil titik itu sehingga hanya mampu menerangi seperduapuluh dari ruangan tersebut. Sebelumnya saya juga membekali para peserta masing-masing sebatang lilin, namun saya tak menyertakan pemantik api kepada mereka.

“Yang harus Anda lakukan adalah menolong diri Anda sendiri. Api lilin ini melambangkan cinta dan saya akan membagi api cinta ini kepada Anda”

Saya dekatkan api lilin untuk menyalakan lilin di sebelah saya sambil mengatakan bahwa saya ingin memulai sebuah hubungan yang indah bersamanya dengan membagi cinta saya kepada Anda dan saya harap Anda mau menyalakan api cinta Anda. Saya pun meminta ia menggunakan lilin saya untuk menyalakan lilin rekan di sebelahnya dan seterusnya. Ketika terdapat dua lilin yang menyala di ruangan itu, tentu ruangan itu bertambah terang, terlebih ketika satu persatu dari semua lilin yang dimiliki peserta menyala. Adakah lagi kegelapan di ruang itu?

“Saat saya membagikan api lilin kepada masing-masing Anda, apakah api di lilin saya semakin kecil? Dengan memberikan cinta saya kepada semua orang yang ada di ruangan ini apakah kadar cinta saya semakin berkurang? Saat masing-masing Anda mendapatkan api cinta dari saya, apakah Anda mendapatkan api cinta yang lebih sedikit? Tentu saja tidak, Anda saksikan bahwa nyala api lilin kita sama besarnya.”

“Setelah semua lilin dinyalakan, Anda bisa melihat bahwa cahaya di ruangan ini jauh lebih terang dibanding ketika hanya lilin saya yang menyala”

Lalu saya pun mengajukan pertanyaan, “Apakah masing-masing kita mempunyai cukup api cinta untuk dibagikan kepada orang-orang di sekitar kita? Adakah yang khawatir api cinta Anda seketika mati saat Anda membaginya kepada orang lain?

Saya menutup sessi pelatihan itu dengan wajah tersenyum saat melihat wajah-wajah penuh cinta berpendar cahaya lilin. Indah nian jika semua cinta dapat dibagi, karena di luar sana teramat banyak sahabat yang membutuhkan cinta kita. Wallaahu ‘a’lam

dan kau lilin-lilin kecil, sanggupkah kau memberi seberkas cahaya… (James F Sundah)

Kopi Susu Singkong Keju

Bukan lantaran pagi ini saya menikmati singkong goreng yang masih panas mengepul sambil menyeruput kopi susu panas, kemudian tulisan ini berjudul seperti tertera di atas. Kopi susu sudah menjadi rutinitas pagi sebelum beraktifitas, seraya menyaksikan beragam berita pagi yang disajikan beberapa stasiun televisi.

Sejak dulu orang sudah mengenal kopi. Penikmati kopi sejati tahu persis jenis kopi paling enak di jagad raya, meski setiap orang dari berbagai daerah punya selera masing-masing. Kopi Jawa dianggap lebih lembut dari kopi Sumatera. Bahkan kopi Sumatera pun masih berbeda-beda rasanya, mulai dari Lampung sampai Aceh.

Cara meracik dan meminum kopi pun berbeda-beda, ada kopi tarik di Aceh karena cara meraciknya dengan cara ditarik seduhan kopinya ke atas menggunakan saringan dan dituangkan ke cangkir langsung dari saringan yang sudah ditarik ke atas. Di Blora, tepatnya di Cepu ada kopi kotok, entah kenapa namanya demikian, tetapi cara meraciknya lumayan menarik. Bubuk kopi, gula dan air direbus sama-sama di atas tungku sampai mendidih, baru kemudian dituangkan ke cangkir.

Kopi berwarna hitam dengan rasa dan aroma yang khas, cita rasa pahitnya sangat digemari berbagai kalangan, laki-laki dan perempuan. Begitu pula dengan susu, sebelum ada susu coklat, minuman ini identik dengan warna putih.

Hitam dan putih adalah dua kutub warna yang berseberangan, kerap dijadikan perumpamaan kebenaran dan kebatilan. Kasihan sekali si hitam yang selalu dianggap salah, padahal si putih tidak selalu benar. Iklan-iklan di televisi pun sering ikut-ikutan tidak adil merefleksikan kecantikan dengan kulit putih. Terlebih kita tidak pernah mendengar istilah “kambing putih” karena yang ada hanya “kambing hitam”.

Entah kapan orang pertama kali mencampur kopi dengan susu, sebab dahulu kopi dan susu ibarat minyak dan air, sesuatu yang tabu dicampur. Kopi ya kopi, berwarna hitam. Susu juga susu saja, putih warnanya. Namun setelah dicampur aduk antara keduanya, tersajilah sebuah minuman yang tak kalah nikmatnya, kopi susu. Orang yang sebelumnya tidak suka susu, tapi kalau dicampur dengan kopi jadi suka susu. Sebaliknya pun begitu, yang sebelumnya tak minum kopi, jadi minum kopi setelah dipadu dengan susu. Sekali seruput dua rasa ternikmati, cita rasa bubuk kopi pahit, berpadu di lidah bersama manisnya susu yang semriwing.

Mengisi pagi dengan seruputan kopi susu belum lengkap jika tidak disertai camilan. Ada pilihan menarik, kalau orang betawi di masa lalu pilihannya ada dua, roti dan singkong. Roti isi keju salah satu favorit camilan untuk menemani kopi, ini bagi yang mampu. Bagi sebagian yang lain, pilihannya cuma ‘roti sumbu’ alias singkong.

Maka jadilah singkong dan keju ibarat langit dan bumi untuk menggambarkan si miskin dan si kaya, anak gedongan dengan anak kolong jembatan, orang mampu dengan orang yang baru bisa mimpi. Kalau bisa makan keju serasa tuan tanah, sementara yang lain cukup makan buah tanah, ya singkong itu.

Tetapi kreativitas orang-orang di negeri ini membuat jarak langit dan bumi itu menjadi rapat. Kemudian ada makanan nikmat yang disebut singkong keju, dinikmati berbagai lapisan masyarakat, tua dan muda, tak pandang status sosial. Yang sebelumnya ‘alergi’ dan merasa bukan kelasnya makan singkong, ikut menikmati. Begitu juga yang sebelumnya rasa keju masih aneh di lidah, karena niatnya makan singkong, ya lahap juga.

Sekarang bayangkan, pagi hari menonton berita Barrack Obama menjadi Presiden terpilih Amerika Serikat, atau sambil membaca koran dengan tema yang nyaris tak ada bedanya, tidak akan senikmat menyeruput kopi susu panas ditemani singkong keju yang hangat. Hmm…

Minum kopi saja sudah enak, tapi dicampur susu pun tak kalah nikmatnya. Singkong digoreng empuk hanya berbumbu garam saja sudah lezat, ditaburi keju di atasnya pasti bikin ketagihan.

Begitulah hidup, bagi sebagian orang mungkin hidup sendiri sudah merasa cukup. Tapi hidup berdampingan, akur dan bersabahat dengan tetangga dari berbagai daerah dan latar belakang, jauh lebih indah. Mengandalkan kekuatan sendiri, mungkin sudah mampu. Namun bersinergi dengan kekuatan yang dimiliki orang lain, bayangkan betapa mudahnya hidup ini. Segala yang berat terasa ringan dikerjakan bersama-sama, semua yang tidak mungkin tercapai, tiba-tiba terasa mudah terwujud.

Ada yang tidak suka kopi susu dan singkong keju? Masih ada pilihan lain kok, bisa kopi coklat, mocca atau singkong coklat… (gaw)

Cara Penulisan Daftar Pustaka

· KUTIPAN
Kutipan harus sama dengan aslinya, baik mengenai susunan kata-kata, ejaan maupun tanda bacanya.
Kutipan yang panjangnya lima baris atau lebih, di ketik satu spasi dengan cara :
Baris pertama dimulai setelah tujuh ketukan dari margin kiri.
Barisan kedua seterusnya di mulai setelah empat ketukan dari margin kiri.
Contoh : Tentang manajemen kas Maurice D. Levi menyatakan :
The Objective of effective working-capital management in an international environment are both to allocate short term investments and cash balance holdings between currencies and countries to maximize overall corporate returns and to borrow in different money markets to achieve the minimum cost.(Levi, 1990, p.286)
Kutipan yang panjangnya kurang dari lima baris diketik seperti pada pengetikan teks biasa (dua spasi) akan tetapi diberi tanda kutip pada awal dan akhir kutipan.
Contoh : Menurut Bambang Riyanto “Pembelanjaan disatu pihak dapat sebagai masalah penarikan modal, dan dilain pihak dapat dipandang sebagai masalah penggunaan modal”.
Kalau kutipan itu perlu dihilangkan beberapa kata/bagian dari kalimat, maka pada awal kalimat itu diberi titik tiga buah.
Contoh :Teory Refleksivitas menurut 1 George Soros dalam The Alchemy Finance menyatakan bahwa:“… Functions need an independent variable in order to produce a determinate result, but in this case the independent variable of one function is the dependent variable of the other …” (Soros, 1994, p. 42).
Kalau di dalam kutipan yang panjangnya kurang dari lima baris terdapat tanda kutip (dua koma), maka harus diubah menjadi tanda kutip satu koma.
Contoh : “Reorganisasi yang disertai dengan penarikan modal baru biasanya diadakan pada waktu-waktu sesudah ‘revival’ dimana dirasakan kebutuhan adanya modal kerja yang relatif besar”. Kata “revival” ditulis ‘revival’
Tiap akhir kutipan ditulis diantara dua kurung nama pengarang, tahun terbitan dan halaman kutipan..


· FOOTNOTES dan ENDNOTES
Peneliti boleh menggunakan FOOTNOTES dan ENDNOTES ketika menulis kutipan.Cara penomeran FOOTNOTES adalah menulis nomor urut 1, 2, 3, dan seterusnya di akhir kutipan dan di belakang penulis kutipan dengan FONT SUPERCRIPT .
Contoh: 1Danila, Nevi, The Impact of Intervention On Inventory Control Mechanism, (Malang-Indonesia, Jurnal Akuntansi-Bisnis &Manajemen, 2001, p. 117 - 148)
Cara pengetikan endnotes
Dalam endnotes dicantumkan nama akhir pengarang, , tahun dan halaman. Contoh: “ The starting point in effective management is setting goals: objectives that a business hopes (and plans) to achieve.” (Griffin & Ebert, 1998, p. 111)
Sumber-sumber yang dikutip dapat berasal dari :
Buku;
Majalah/jurnal/CD ROM;
Surat kabar;
Ensiklopedi;
Web-site;
Sumber dari Buku

Satu Pengarang
Contoh : 1 Sjahrir, Analisis Bursa Efek, cetakan pertama, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, halaman 157. (Sjahrir, 1995, hal.157)
2 Guritno Mangkoesoebroto, Kebijakan Ekonomi Publik Di Indonesia : Substansi dan Urgensi, cetakan pertama, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, halaman 38 (Guritno, 1994, hal. 38)Buku ini ada anak atau sub judul
Dua Pengarang
Contoh : 1 Husnan, Suad dan Pudjiastuti, Enny, Dasar-dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas, edisi pertama, cetakan pertama, UPP-AMP YKPN, Yogyakarta, 1993, halaman 115 (Husnan & Pudjiastuti, 1993, hal. 115)
2………, Dasar-dasar Manajemen Keuangan, edisi pertama, cetakan pertama, UPP-SMP YKPN, Yogyakarta, 1993, halaman 191 (Husnan & Pudjiastuti, 1993, hal. 191)
Tiga Pengarang
Contoh : 1Rugman, Alan M., Donald J. Lecraw, and Laurence D. Booth, International Business Firm and Environment, 2 and Printing, Mc Graw Hill Book Company, Singapore, 1987, page 323 (Rugman, Lecraw and Booth, 1987, p.323)
2Engel, James f., Roger D. Blackwell dan Paul W. Miniard, (1990), Perilaku Konsumen, Terjemahan : Budijanto, Jilid 1, cetakan Pertama, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995, halaman 127 (Engel, Blackwell and Miniard, 1995, hal. 127)
3 Eiteman, David K., Stonchill, Arthur I., Moffett, Michael H., Multinational Business Finance, ninth edition, Addison-Wesley Publishing Company, Inc, 2001, USA, p. 152 (Eiteman, Stonchill and Moffett, 2001, p. 152)
Pengarang lebih dari tiga
1Spriegel, M., et al, Statistics, Schaum Edition, Prentice Hall, New York, 1970, Page 90.
Artikel atau tulisan dalam buku kumpulan karangan
Untuk kutipan dari artikel atau tulisan yang dimuat dalam buku kumpulan artikel atau tulisan cara penulisannya sebagai berikut :
Contoh : 1Biagiono,Luis F., Joseph A. Lovely, “The Impact of Accounting on Managerial Performance “In Readings in Cost Accounting, Budgeting and Control, Ed, William E. Thomas, Jr, Fifth Edition, South-Western Publishing Co, Cincinnati,978, page 26-27.
2Ida Bagus Mantra dan Kasto, “Penentuan Sampel”, Dalam Metode Penelitian Survei Ed., Mari Singarimbun dan Sofyan Effendi, Edisi Revisi, LP3ES., Jakarta, 1989, halaman 155-171.
Tidak ada pengarang tertentu
Buku diterbitkan oleh sebuah nama Badan, Lembaga, Perkumpulan perusahaan dan sejenisnya, cara penulisan catatan kaki seperti dibawah ini. Contoh : 1Tim Koordinasi Pengembangan Akuntansi, Accountancy Development in Indonesia, Publication No. 9, Yogyakarta, 1992, halaman 305.
2Bank Indonesia, Laporan Mingguan (Weekly Report), No. 1855, 15 Desember 1994, BI Urusan Ekonomi dan Statistik, Jakarta, 1994 halaman 10.
Buku yang diterjemahkan
Dalam buku terjemahan yang dicantumkan tetap nama pengarang asli dan judul buku yang diterjemahkan, dibelakang judul buku ditulis nama penerjemahnya. Contoh : 1Kerlinger, Fred N., (1989), Asas-asas Penelitian Behavioral, Terjemahan : Landang M. Simatupang, edisi ketiga, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1990, halaman 101.
2Wee Chow Hou, Lee Khai Sheang, dan Bambang Walujo Hidayat, (1991), Sun Tzu perang dan Manajemen, Terjemahan : Soesanto Boedidharmo, cetakan Kedua, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 1992, halaman 256.
Sumber dari Majalah atau jurnal
Contoh :1Gatot Widayanto, “Strategic Cost Management : Tehnik Manajemen Biaya Untuk Transformasi Visi Bisnis Anda”, Manajemen dan Usahawan Indonesia, No. 02 Th XXIV Februari 1995, halaman 10-15.
2Chekulaev, Elena., “The Stolen Life Of Okada Yoshiyo, The Untold Story of How a Courageous Japanese Actress Survived in Stalin’s Russia”, ASIAWEEK February 23, 1994, halaman 50-57.3 Kasali, Rhenald, “ Fenomena Pop Marketing Dalam Konteks Pemasaran di Indonesia, Manajemen Usahawan Indonesia, No. 09/TH. XXXII September 2003, halaman 3
Sumber dari surat kabar
Contoh : 1Harian Republika, Senin, 1 Maret 2004, halaman 6.2Bisnis Indonesia, Selasa, 2 Maret 2004, halaman 5.
Sumber dari Ensiklopedi
1) Nama Pengarang diketahui Contoh :
1Magdalena Lumbantoruan dan B. Suwartoyo, Ensiklopedi Ekonomi, Bisnis dan M
manajemen, jilid 1, cetakan pertama, PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta, 1992, halaman 317.
Sumber dari Web-site:
Kutipan yang diperoleh dari web-site cara penulisan sumber dapat ditulis sebagai berikut:
(a) Tingkat inflasi Indonesia tahun 2003
http://www.bi.gi.id/bank_indonesia2/moneter/inflasi/ diakses pada hari: Jum’at, 5 Maret 2004.
(b) Rating Indonesia dari Standard & Poorhttp://www.standardpoor.com/ratings diakses 8 Setember 2004
.(c) Doyne Farmer and Andrew W. LO. 1999, Fronters of Finance: Evolution and Efficient Markets, April 11, 1999 (online) diakses 30 Agustus 2004(http://www.e-m-h.org/FaLo99b.pdf )
(d) Ragnar Nurkse, “Memahami Kemiskinan” online (http://www.kimpraswil.go.id/publik/P2KP/Des/memahami99.html) diakses, 25 Agustus 2004
(e) The NAIRU: Non-accelerating Inflation Rate of Unemployment, Juli 19, 2002, Semi-Daily Journal , Brad Delong’s, diakses 7 Setember 2004(http://econ161.bekerley.edu/movable_type/archives/000382.html)

· DAFTAR PUSTAKA
Isi
Daftar pustaka berisi sumber-sumber yang dipergunakan untuk penulisan Skripsi .
Susunan Daftar pustaka di susun menurut abjad nama pengarang, yang dapat ditulis nama orang, lembaga, badan dan lainnya.

Bentuk Bentuk susunan dalam daftar pustaka dapat disusun seperti berikut : 1) Nama pengarang asing dimulai dengan nama akhirnya, sedang pengarang lokal ditulis tetap. 2) Nomor halaman tidak perlu dicantumkan. 3) Nama pengarang mulai diketik pada margin kiri, sedangkan baris kedua dan selanjutnya diketik empat ketukan dari margin kiri dengan jarak pengetikan satu spasi. Antara sumber yang satu dengan sumber berikutnya berjarak dua spasi. Contoh : Daftar Pustaka
Azumi, K and J. Hage, Organization Systems, A Text Reader Inc Sociology Of Organization, D. C. Heath dan Company, London, 1980.Burns, T dan Stalker, G. M., The Management Of Innovation, Tavistock, London, 1984.
Clothier, Peter J., (1991), Meraup Uang Dengan Multi-Level Marketing : Pedoman Praktis Menuju Network Selling Yang Sukses, Terjemahan : T. Hermaya, Cetakan Ketiga, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.Etziomi, Amitai, (1991), Dimensi Moral Menuju Ilmu Ekonomi Baru, Terjemahan : Tjun Surjaman, Cetakan Pertama, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1992.
Farmer, J. Doyne and Lo, Andrew W. 1999, Frontiers of Finance: Evolution and Efficient Markets, online diakses 9 September 2004 (http://www.e-m-h.org/FaLo99b.pdf) Hadipranoto, Arsip, F., Kohesifitas Kelompok Sebagai Indikator Dasar Kekuatan Koperasi, Badan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta, 1988.Kerlinger, Fred N, (1989), Asas-asas Penelitian Behavioral, Terjemahan : Landung M. Simatupang, edisi ketiga, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1990.
Littauer, Florence, (1994), Personality Plus, Terjemahan : Anton Adiwiyoto, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995.
Maulana, A., Sistem Pengendalian Managemen, Cetakan Pertama, Bina Aksara, Jakarta, 1989.
Naisbitt, John, (1991), Global Paradox, Terjemahan : Budijanto, cetakan Pertama, Binarupa Aksara, Jakarta, 1994.Ohmae, Kenchi, (1991), Dunia Tanpa Batas, Terjemahan : FX. Budiyanto, cetakan pertama, Binarupa Aksara, Jakarta, 1991. Santoso ,Singgih; Tjiptono, Fandy (2002) Riset Pemasaran: Konsep dan Aplikasi dengan SPSS, cetakan kedua, PT Gramedia, Jakarta
Sugiyono (2003), Metode Penelitian Bisnis, cetakan kelima, CV Alfabeta, BandungWee Chow Hou, Lee Khai Sheang, Bambang Walujo Hidayat, (1991) Sun Tzu Perang dan Manajemen, Diterjemahkan : Soesanto Boedidharmo, cetakan Kedua, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 1992.
Daftar pustaka
Daftar pustaka hanya memuat pustaka yang benar-benar diacu dalam skripsi dan disusun sebagai berikut :
1. Ke bawah menurut abjad nama utama atau nama keluarga penulis pertama.

2. Ke kanan :
a. Buku : penulis, tahun. Judul buku, jilid, terbitan ke, halaman, nama penerbit dan kota.
b. Majalah : penulis, tahun, judul tulisan, nama majalah (dengan singkatan resminya), julid dan halaman.
DAFTAR PUSTAKA
Assegaff,
1982, Jurnalistik Masa Kini: Pengantar Ke Praktek Kewartawanan, Jakarta, Ghalia Indonesia.
Muis, A.
1999, Jurnalistik Hukum Komunikasi Massa, Jakarta: PT. Dharu Annutama.
Kasman, Suf.
2004, Jurnalisme Universal: Menelusuri Prinsip-Prinsip Da’wah Bi Al-Qalam dalam Al-Qur’an, Jakarta, Penerbit Teraju
Romli, Asep Syamsul M.
2005, Jurnalistik Terapan: Pedoman Kewartawanan dan Kepenulisan, Bandung, Batic Press
Suhandang, Kustadi.
2004, Penngantar Jurnalistik: Seputar Organisasi, Produk, dan Kode Etik. Bandung, Penerbit Nuansa.
Sumadiria, AS Haris.
2005, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, Bandung, Simbiosa Rekatama Media.
Palapah dan Syamsudin.
1994, Diktat “Dasar-dasar Jurnalistik”
Asep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Terapan: Pedoman Kewartawanan dan Kepenulisan, Bandung, Batic Press, 2005, hlm. 01.
Suf Kasman, Jurnalisme Universal: Menelusuri Prinsip-Prinsip Da’wah Bi Al-Qalam dalam Al-Qur’an, Jakarta, Penerbit Teraju, 2004, hlm. 22-23
AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, Bandung, Simbiosa Rekatama Media, 2005, hlm. 02
Ibid hal, hlm. 03.
Op.cit, Suf Kasman, hlm. 23-24.
AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, Bandung, Simbiosa Rekatama Media, 2005, hlm. 2-3
A. Muis, Jurnalistik Hukum Komunikasi Massa, Jakarta: PT. Dharu Annutama. 1999, hlm. 24-25
AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, Bandung, Simbiosa Rekatama Media, 2005, hlm. 02.
Ibid.
Suf Kasman, Jurnalisme Universal: Menelusuri Prinsip-Prinsip Da’wah Bi Al-Qalam dalam Al-Qur’an, Jakarta:Penerbit Teraju, 2004, hlm. 23.
Assegaff, Jurnalistik Masa Kini: Pengantar Ke Praktek Kewartawanan, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1982, 9-10.
Suhandang, Kustadi., Pengantar Jurnalistik: Seputar Organisasi, Produk, dan Kode Etik. Bandung:Penerbit Nuansa, 2004, hlm. 25-26.


Metafora Secangkir Kopi

Masih tersimpuh dengan nafas nafas tak utuh
Ketika pekatnya suasana samarkan tangis
Namun manisnya serasa tawarkan tawa

Mari berkaca selayaknya orok tak mengenal dosa
Wajah suram yang selalu terlihat lebih indah
Sembunyikan aliran aliran bermuara
Pada setiap nafas tersisa

Untuk terakhir kalinya pahit menghadang
Menjelang sinar tak lagi diharapkan
Sementara mimpi masih kuat untuk kembali

Tanyakan padaku,
Apakah kita sepakat malam ini untuk berhenti terjaga,
dan berharap esok takkan pergi dari kita?

Titik-Titik Sepi

......................................................................... Sepi
.............................................. Sepi
......................................................................... Sepi

Kisah 2 Kepompong

Ada anak kecil berjalan-jalan di kebun, kemudian dia menemukan 2 kepompong yang menggantung di sebuah pohon. Dia mengamati satu kepompong yang mulai bergerak dan membengkak, rupanya makhluk di dalamnya ingin keluar. Dengan susah payah calon kupu-kupu di dalamnya ingin keluar, dia meronta, menjejakkan kaki tangannya sekuat tenaga, berusaha merobek kulit kepompong. Hampir selama satu jam kupu-kupu tersebut berjuang dan akhirnya dapat keluar, maka terbanglah ia menjadi kupu-kupu yang cantik.

Kemudian kepompong yang satu lagi juga mulai beraksi seperti kepompong yang pertama tadi. Si anak tersebut berpikir, kasihan sekali kalau kupu-kupu ini harus berjuang selama satu jam untuk keluar dari kepompongnya. Akhirnya sang anak ingin membantu kupu-kupu tersebut keluar dari kepompongnya. Disobeknya kulit kempompong supaya kupu-kupu itu cepat keluar dan terbang menyusul temannya yang sudah duluan terbang.

Namun, apa yang terjadi? Kupu-kupu tersebut cepat keluar dari kepompongnya, namun dia tidak terbang, dia langsung jatuh ke tanah, tak berdaya.

Kenapa begitu?

Kupu-kupu kedua dibantu untuk keluar dari kepompongnya. Sehingga otot-otot tubuhnya, kaki, tangan, dan sayapnya belum terlatih. Tidak digerakkan untuk meronta, menjejak, merobek, dan berjuang membuka kepompongnya sendiri. Tubuhnya menjadi lemah sehingga tidak bisa terbang.

***

Apa pelajaran yang kita petik dari kisah 2 kepompong di atas?

Sungguh indah skenario Allah, yang telah membuat Sunnatullah (hukum-hukum alam). Allah menginginkan kemudahan bagi umatnya dan bukan kesukaran. Jika Allah menginginkan kita berjuang, memberikan kita ujian, supaya kita menjadi makhluk yang kuat dan mulia agar menemukan kemudahan dalam menjalani kehidupan ini.

Manusia-manusia yang sangat disayangi Allah seperti para Nabi, para sahabat, para Wali, selalu diberikan ujian yang berat untuk menaikkan derajatnya menuju insan kamil. Kesuksesan dan kebahagiaan akan lebih terasa nikmat dan disyukuri, jika dicapai dengan suatu perjuangan.

Senin, 05 Januari 2009

Ayahku, Idolaku

Saya akan senantiasa mengecup kening, pipi dan ubun-ubun kepalanya di pagi, siang, dan malam hari. Sejak ia baru membuka matanya di waktu fajar hingga menjelang menutup mata. Bahkan saya bangunkan ia dengan beberapa kecupan hangat, agar senyum manisnya lah yang membuka paginya. Andai ia tahu, di setiap pertengahan malam saat ia terlelap dibuai mimpi pun akan selalu ada kecupan lembut menghangatinya. Saya lakukan itu agar sampai kapanpun ia takkan pernah lupa, ada sosok penuh cinta yang setiap tuturnya bermakna sayang, dan setiap dengusan nafasnya berarti kasih. Saya akan menjadi apapun untuknya. Kadang menjadi harimau yang menerjang-nerjang dengan auman keras yang membuatnya berteriak, sesekali menjadi kodok yang melompat-lompat lucu, atau menjadi burung yang hinggap dari satu ranting ke ranting lainnya. Pagi hari menjadi ayam ber-kukuruyuk membelah fajar dan malamnya menjadi bintang-bintang yang menemani tidurnya hingga malam berlalu. Saya tak akan bosan mendongeng untuknya kapan pun, dimana pun, kalau perlu sampai ia bosan. Walau pun saya tahu, sebanyak apapun cerita yang saya dongengkan, ia takkan pernah bosan. Baginya, sayalah pendongeng terhebat di dunia. Yang mampu membuatnya tertawa tergelak dan terkekeh, kadang membuatnya menjerit ketakutan, atau memaksanya mengeluarkan air mata. Berangkat bersama fafar yang beranjak pergi, pulang dari kantor ditemani lampu jalan dan dinginnya malam. Pekerjaan apa pun rela saya tempuhi untuk sebuah keyakinan ia mendapatkan makanan yang baik, cukup dan halal, setidaknya untuk hari ini. Untuk sebuah harapan agar ia mendapatkan pendidikan yang layak untuk masa depannya. Inilah bentuk pengorbanan yang tak pernah saya meminta balasan apa pun darinya kelak. Bagi seorang Ayah, mendapati senyum si buah hati tetap menghiasi hari-harinya, itu sudah cukup. Sahabat. Inilah kata yang selalu saya sebutkan kepadanya tentang siapa saya. Saya bukan sekadar Ayah baginya, melainkan sahabat. Saya akan menjadi sahabat terbaiknya, yang menyediakan hati sehamparan bumi dan telinga seluas lautan. Yang akan mendengarkan semua kesahnya dan menampung sebanyak apapun airmatanya. Yang akan bersedia menangis bersamanya saat ia sedih, dan tertawa bersamanya di hari-hari bahagianya. Yang akan senantiasa hadir untuknya kapan pun, dimanapun ia membutuhkan. Dada ini setegar karang di laut yang siap menjadi tambatan kepalanya, dengan segunung persoalan yang dihadapinya. Dalam setiap sujud dan tengadah jemari, namanya tak pernah alpa terucap. Sepanjang doa yang terlantun, tak pernah sekalipun namanya terlupa. Kepada Allah senantiasa terpinta agar seribu malaikat membimbing setiap jengkal langkahnya, agar sejuta cahaya tak pernah padam menerangi jalannya, dan tak terbilang tangan menjaganya dari jalan yang menyimpang. Tak jarang, airmata ini menetes tak tertahan memandang wajah polosnya, berharap tak banyak dosa yang mengotori perjalanan hidupnya, meminta tak banyak aral melintangi langkah kecilnya, dan tak tersebar onak yang akan menghambat jalannya. Kebahagiaannya, adalah kata kunci dalam setiap pinta saya kepada Allah. Saya sadar betul, tak patut berharap ia akan membalas cinta seperti yang saya curahkan kepadanya. Apalah lagi menakar-nakar agar ia tahu betapa tak terhitung kasih yang saya berikan kepadanya. Pun tak mungkin saya menuntutnya untuk mengganti semua peluh yang bercucuran untuknya. Tak sedikit pun saya meminta bayaran untuk setiap airmata yang luruh sepanjang hidupnya semenjak kecil. Bukan karena saya tahu ia takkan pernah sanggup membayarnya, tapi sekadar ia tahu bahwa cinta ini begitu tulus, jujur, bersih namun sederhana. Tak ada yang sanggup menggantinya, berapapun yang ditawarkannya. Sungguh, saya melakukan ini semua demi satu harapan. Kelak sampai kapan pun ia tak perlu mencari figur lain yang ia banggakan, tak sulit untuk menyebut sosok yang ia dambakan kehadirannya, yang ia tangisi kepergiannya. Karena, sampai kapan pun ia akan berkata kepada dunia, “Ayahku, Idolaku”. Bayu GawtamaCoretan kecil untuk anak-anak Abi

Bahasa Ibu, Bahasa Kalbu

Tak ada satu patah pun terucap dari bibirnya, pun tak terdengar suaranya. Ia hanya memainkan sedikit matanya untuk membuat kami mundur teratur beberapa langkah dan urung masuk ke dalam rumah. Rupanya, ibu tengah menerima beberapa orang tamu dan nampak sedang serius. Saya sempat berpikir, bahwa tamu-tamu itu hanya orang biasa, bukan orang penting yang tidak bisa diganggu sekian detik oleh kehadiran anak-anak kecil yang baru pulang sekolah. Saya juga tidak berniat mengganggu mereka, hanya sekadar mencium punggung tangan ibu beberapa detik, kemudian meluncur ke kamar. Tapi maksud ibu berbeda, siapapun tamunya, penting atau tidak penting kedatangannya dan dari manapun datangnya tetap harus dihormati. Jadilah saya, abang dan adik-adik menunggu cukup lama di depan rumah. Tak berani masuk, apalagi memanggil-manggil ibu. Empat puluh menit sudah, si bungsu bahkan sudah terlelap di pojok teras rumah, keringatnya membasahi baju seragamnya yang kotor. Akhirnya, para tamu pun pamit pulang. "Eeh, baru pulang sekolah ya?” tanya mereka. Belum sempat kami menjawab, “Iya, baru sampai tuh,” sergah ibu. Sekali lagi, menjaga hati para tamu agar tak merasa tak enak hati. Tak selalu begitu memang. Tapi dalam beberapa kesempatan, ibu sering mengajarkan kepada kami tentang sopan santun dan tatakrama. Maklum, sebelum-sebelumnya kami sering membuat ibu malu di hadapan tamunya dengan segala polah yang tak terkontrol. Yang minta minumlah, minta dibukakan sepatu, atau ini yang bikin ibu tambah malu, “Bu, belum masak ya? lapar nih...”***Hari ibu tiba. Ini hari yang paling ditunggu oleh kami, karena hari ini adalah jadwal acara memasak bersama, tanpa ibu. Kami akan membiarkan ibu duduk mendampingi kami yang berjibaku dengan kompor dan peralatan masak. Sesekali saya menangkap wajah khawatir ibu saat saya menyalakan kompor minyak. Meski sudah sering dan bisa dibilang mahir saya melakukan pekerjaan itu, tetap saja mata ibu tak lepas dari tangan kecil ini yang menyulutkan api ke sumbu kompor. Begitu api menyala, cerialah wajahnya. Begitu juga ketika si bungsu memotong-motong wortel dan kentang dengan pisau yang ukurannya lebih besar dari tangannya. Maklum, si kecil itu teramat sering terluka jarinya oleh benda tajam itu. Setiap irisan wortel, setiap kali itu pula nafas ibu tertahan. Urusan barang pecah belah, ini urusan “orang gede”. Mulai dari mengambil dari rak piring, menatanya di meja makan, sampai mencucinya setelah pesta usai. Untuk satu hal ini, ibu harus merelakan beberapa benda kesayangannya benar-benar menjadi benda pecah-belah alias benar-benar pecah. Hidangan pun tersaji, waktunya makan. Karena hari ibu, ibulah yang mendapat kehormatan sebagai orang pertama yang mencicipi masakan kami. Srrup... sesendok kuah sayur sup olahan kami pun diseruput ibu, dan... matanya menyeripit, bibirnya seperti menahan sesuatu, perlahan tenggorokannya terlihat seolah tak rela membiarkan kuah yang ada di lidahnya masuk ke perut. Seketika, lima wajah kami pun serempak mengerut, “kenapa?”“Sup ini... sup paling nikmat yang pernah ibu rasakan,” wajahnya kembali tenang dan ia pun mempersilahkan kami menikmati makan bersama hari itu. Namun sebelumnya, ibu mengajukan saran, “Sup ini sudah nikmat, tapi menurut ibu, kalau mau lebih nikmat airnya perlu ditambah ya.” Tangan terampil ibu pun mengolah kembali sup tersebut dengan menambah bumbu lainnya. Sepuluh menit berikutnya, barulah pesta sebenarnya dimulai. Sungguh, kami tak tahu apa yang terasa dilidah ibu dengan sup hasil olahan kami. ***Suatu pagi, ibu mengaku kehilangan sejumlah uang belanjanya. Dikumpulkanlah lima anaknya untuk ditanya satu persatu. Meski ada orang lain selain kami, ibu tetap menganggap perlu untuk mengumpulkan anak-anaknya terlebih dulu. “Ibu menuduh kami?” tanya saya tergagap. “Bukan. Ibu hanya memberi tahu bahwa kita tidak masak hari ini, karena uang belanja ibu tidak ada,” ujar ibu lembut. Kami pun berangkat sekolah dengan perasaan berat dan saling curiga, siapa yang tega mengambil uang ibu. Tidak sampai di situ, kami pun terbayang siang ini akan dilewati dengan perut lapar. Pulang sekolah, jangan harap ada makanan tersaji di meja makan. Saya sempat berpikir, akan saya pukul orang yang mengambil uang ibu. Karena dia akan menyebabkan semuanya kelaparan. Kembali dari sekolah, aroma semur tahu kesukaan saya sudah tercium dari pagar depan rumah. Saya berlari ke dapur dan mendapati ibu sedang memasak. “Kok ibu masak? Uangnya sudah ketemu? Siapa yang mengambilnya?” pertanyaan beruntun saya dijawab ibu dengan senyum. “Siapapun dia, yang jelas dia sudah mengerti kepentingan keluarga lebih utama dari kepentingan sendiri,” jelas ibu. Saya tahu, ibu tak akan memberi tahu siapa orang dimaksud, karena ibu tak ingin kami membencinya. Apalagi memukulnya, seperti niat saya sebelumnya. ***Ibu, rindu rasanya saya pada masa-masa indah seperti dulu. Semoga masih selalu ada waktu untuk kita mencipta terminal kenangan yang tak kalah indahnya dengan masa lalu. Sungguh, kadang ibu memang cerewet, tapi saya tahu semua itu adalah bahasa kalbu ibu yang selalu menyejukkan hati. Happy mothers day, mom...

Cinta (memang) Tak Pandang Bulu

Judul tulisan ini memang agak klasik, “cinta tak pandang bulu”. Entah kenapa tiba-tiba saya tertarik dengan kalimat klasik ini, terlebih setelah untuk kesekian kalinya melihat pemandangan yang mengagumkan tentang kesejatian cinta. Saya yakin Anda pernah melihat induk ayam bersama sekelompok anak-anaknya, dan diantara sekian banyak anaknya itu terselip satu anak bebek. Dulu ketika kecil saya bertanya, bagaimana mungkin seekor anak bebek bisa menginduk kepada ayam? Atau mungkinkah si ayam betina itu bertelur bebek? Setelah mendapat penjelasan dari paman, barulah mengerti bahwa seseorang sengaja meletakkan sebutir telur bebek diantara beberapa butir telur yang sedang dieramkan ayam betina. Dan ketika menetas, dari semua telur itu keluarkan anak-anak kecil yang cantik, mungil dan lucu-lucu. Yang mengagumkan, tidak ada sedikitpun perlakuan berbeda dari induk ayam itu kepada semua anaknya, termasuk si anak bebek. Meski ia berbeda warna, berbeda bulu, bahkan berbeda dari segala bentuk dan rupa, kasih sayang induk ayam tetap sama. Walau si anak bebek berparuh pipih, tak sama dengan saudara-saudaranya yang berparuh runcing, meski ia bertubuh lebih pendek dari saudara-saudaranya, dan terdapat selaput diantara jari kakinya, cinta ibunya tak berbeda. Si induk ayam tetap memberikan makanan yang sama kepada semua anaknya. Ia juga tetap akan mematuk, menyerang siapapun yang mendekati dan mencoba mengganggu anak-anaknya. Bahkan ia pun akan menangis dengan air mata yang sama derasnya ketika anak-anaknya terluka. Ia, layaknya seorang ibu kepada anak-anaknya. Menyayangi tanpa membedakan, mencintai dengan menutup mata pada sedikitpun kelebihan dan kekurangan anak-anaknya karena dalam cinta yang terlihat hanyalah yang terbenam di kedalaman jiwa. Anak-anak bagi seorang ibu adalah mutiara terindah, yang tak bisa disebandingkan dengan apapun. Bukankah seorang ibu rela bertukar jiwa dengan buah hatinya jika hanya itu satu-satunya pilihan? Maka mendekatlah wahai anak-anak, cinta ibu adalah samudera tempat kita mereguk kesejukan, mendapatkan dahaga kebahagiaan. Saudaraku, begitu pun Allah. Bilal bin Rabbah yang hitam legam dari benua Afrika pun, terdengar indah suara terompahnya di surga karena ia senantiasa mendekat kepada Allah. Sesungguhnya, melalui pelajaran cinta dari seekor induk ayam dan si anak bebek, serta kasih sayang seorang ibu kepada anak-anaknya, Allah tengah memberikan satu hikmah, bahwasannya Ia-pun berlaku sama kepada semua hamba-Nya tanpa terkecuali. Kasih Allah sama, tak berbeda. Kitalah yang membuatnya berbeda. Allah selalu mendekat kepada semua hamba-Nya, kitalah yang membuat jaraknya. Dan cinta Allah pun senantiasa mengalir tanpa henti, namun kedangkalan jiwa inilah yang membuat kita tak mampu merasakan sentuhan cinta-Nya. Wallaahu’a’lam (gaw)