Minggu, 20 Mei 2012

Banyak hal dalam hidup kita yang harusnya disyukuri, terutama yang namanya 'masalah',.. karena, dengan masalah, manusia bisa menempa dirinya menjadi lebih baik, belajar dari kesalahan yang dibuat yang telah menimbulkan masalah yang sedang dihadapi.

 Masalah itu ibarat sebuah penghapus karet, bila digunakan dengan benar, maka hasil hapusan nya akan bersih, namun jika asal-asalan, penghapus karet itu malah meninggalkan noda kotor pada kertas. 

Di dalam permasalahan, ada kalanya merupakan ujian remidial bagi kita, atas kegagalan kita dalam menghadapi masalah di masa lampau, Tuhan itu tidak pernah berhenti memberi soal kepada kita kok sebenarnya, sampai manusia ke alam akhirat bahkan.  Tergantung sampai sejauh mana kita belajar dari masalah-masalah yang kita hadapi.

Masalah juga dapat sebagai alat pembelajaran, jika kita tidak pandai menggunakan masalah sebagai alat introspeksi, maka masalah hanya akan meninggalkan sesuatu yang sia-sia dan menyakitkan saja.  Di dalam masalah ini kita belajar untuk mengendalikan diri, memberdayakan seluruh resource kita, melatih kita untuk lebih kritis, dsb.

Diharapkan setelah diberi masalah kita mampu untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu dengan melakukan kebaikan-kebaikan di masa depan, menjadi lebih dewasa dan bijak dalam memandang kehidupan, tidak hanya 'lewat' saja itu masalah-masalah di dalam hidup kita.

Aada pepatah yang menyatakan "langit akan jauh lebih gelap tepat sebelum datangnya fajar", seperti itulah masalah, seperti gelap sebelum terang, masalah adalah suatu pintu menuju kecerahan, dan itu pasti.  Yang saya tahu, Tuhan itu akan memberikan semacam shock terapi dahulu sebelum memberikan hadiah, supaya hadiah itu berkesan bagi kita.  Dia akan mengajari kita bagaimana caranya bersyukur setelah menghadapi masalah yang bertubi-tubi, Dia selalu mengajari kita pada setiap masalah yang datang dan kemudian memberi kita hadiah yang spesial sesudah cobaan yang Dia berikan.

Hanya saja, kebanyakan dari kita justru cenderung mengabaikan masalah, dan segera ingin cepat-cepat keluar dari masalah tanpa mau 'menikmati' masalah itu dahulu, tanpa menyelami hakikat dari permasalahan yang menimpa diri kita.  padahal, sekali lagi, masalah itu adalah moment terbaik kita untuk berbuat dan berfikir, kemudian menjadi manusia yang hidup di dalam dunia yang benar-benar berisi kehidupan.  Kadang kita terlalu ingin segalanya menjadi sempurna namun takut menghadapi masalah, menganggap semuanya berjalan baik-baik saja dan semua sudah lengkap tanpa harus menghadirkan masalah bagi diri kita.  itu salah, karena justru masalah itulah yang membuat diri kita menjadi lebih lengkap, menjadi lebih hidup untuk meyelesaikan masalah. Dan tidak jadi soal apakah hasil akhir dari peperangan kita dalam menghadapi masalah itu adalah menang atau gagal, keduanya sama-sama menguntungkan bagi kita.  Toh, kita bisa belajar cara menghadapi masalah yang sama di masa depan, secara sistematis dan jauh lebih baik dari cara kita menghadapi masalah yang sekarang.
 
"Orang yang gagal adalah orang yang sebenarnya bisa menghadapi suatu permasalahan namun dia lari karena tidak berani menyelesaikan masalah tersebut."

Ingat, masalah mungkin adalah bungkus kado dari hadiah yang menunggu untuk kita buka didalamnya.

Perjalanan Hidup

Dalam suatu perjalanan, semakin sering mampir, tubuh akan semakin lelah, resiko kecelakaan akan semakin besar, dan untuk istirahat pun akan membutuhkan waktu lebih lama untuk memulihkan diri kembali…

Dalam perjalanan hidup, meski tujuan sudah pasti, semakin sering berbelok, hati akan semakin lelah, resiko menyimpang akan semakin tinggi, dan penghisaban nanti pun akan lebih lama…

Jumat, 16 April 2010

HIMAMA Goes To HMMI


Kamis, 15 April 2010

BANDUNG (HIMAMA Present) - Himpunan Mahasiswa Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (HIMAMA) FE UMY mengikuti Seminar Dialog Ekonomi Nasional dan Kongres V HMMI 2010 di Universitas Pasundan Bandung dan Bumi Perkemahan Kiara Payung Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Senin-Jumat (15-19/03). Yang mana dalam kesempatan tersebut HIMAMA mendelegasikan angootanya yaitu: Rheza Pratama, Fachrur Razie, Wahyu Noviantoro. Keikutsertaan dalam kegitan tersebut di atas sebagai wujud interaksi dan perkenalan HIMAMA dengan beberapa HMJ Manajemen yang bernaung di Himpunan Mahasiswa Manajemen Indonesia (HMMI).
Menurut Ketua HIMAMA, Rheza Pratama, “tujuan keikutsertaan ini agar dapat memotivasi para anggota HIMAMA dalam pembacaan situasi nasional serta dapat membangun link dan mempererat tali silaturahmi antar HMJ Manajemen seluruh Indonesia, “ tuturnya.
Para Peserta dalam kongres V HMMI ini berasal dari seluruh Nusantara Indonesia yang mana setiap peserta mewakili setiap wilayah-wilayah, di antaranya HMJ Manajemen Universitas Lampung, HMJ Manajemen Universitas Borneo Tarakan, Kalimantan Timur, dan HMJ Manajemen Universitas Hasanudin. Dalam kongres peserta membahas AD/ART, GBPO, Rekomendasi HMMI serta pemilihan Sekretaris Jenderal (Sekjen) dan Presiduim Pusat HMMI. Yang mana dalam kongres tersebut terpilih Presidium Pusat sebagaimana berikut: Indra Sani (Universitas Lancang Kuning, Riau), Ade Mulyana (Universitas Borobudur, Jakarta), Rheza Pratama (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta), Harianto (Universitas Muhammadiyah Malang), Herman (Universitas Borneo Tarakan, Kalimantan Timur), Yohanis Papilaya (Universitas Khairun, Ternate). Dan Sekjen terpilih yaitu: Havs Salih Guntur (Universitas Lampung), R. Andri Firmansyah (Universitas Pasundan, Bandung), Andi Tenripada (Universitas Hasanuddin, Makasar).

Ditambahkan Rheza, dirinya berharap agar para delegasi Anggota HIMAMA yang ikut serta dalam kegiatan HMMI V dapat banyak mengambil banyak pengalaman dan pembelajaran agar dapat diaplikasikan didalam menjalan roda organisasi HIMAMA dikemudian hari. (Rz)

Selasa, 29 Desember 2009

Bagi 1.000 Bunga, Mengenang Jasa Ibu

Bagi 1.000 Bunga, Mengenang Jasa Ibu
Selasa, 22 Desember 2009 17:35:00
Massa saat menggelar aksi di perempatan KAntor Pos Besar Yogyakarta. (Foto : Fira Nurfiani)

YOGYA (KRjogja.com) - Himpunan Mahasiswa Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (HIMAMA) FE UMY menggelar aksi damai penuh kasih dengan membagikan 1.000 bunga mawar di Perempatan Kantor Pos Besar, Selasa (22/12). Aksi yang dilakukan ini sebagai wujud kasih sayang untuk memperingati Hari Ibu yang jatuh pada hari ini.

Menurut Koordinator Lapangan, Fachrur Razie, sebelumnya di kampus juga telah diadakan pembagian bunga kepada seluruh civitas akademika UMY terutama tenaga pengajar. "Tujuan pembagian bunga ini agar semua masyarakat juga terkenang kembali akan jasa-jasa orang tua mereka yang telah membesarkan," katanya.

Ditambahkan Razie, dirinya berharap para pengguna jalan yang melintas di Kantor Pos Besar sore ini dapat mengenang segala jasa dan pengorbanan ibu yang sebenarnya tidak bisa dibalas. Ibu adalah sosok motivasi buat anaknya yang rela melakukan segalanya demi anaknya maka pantaslah jika aksi ini dipersembahkan untuk sosok pahlawan yaitu ibu yang telah berjuang demi anak-anaknya. (Fir)

Selagi Mampu, Sedekahlah

Sering kita tidak menyadari kerap menunda untuk bersedekah dengan beragam alasan, “Besok sajalah, sekarang sedang sibuk”, “Nanti kalau semua tagihan sudah terbayar, lihat sisanya baru disedekahkan” atau, “Nanti dulu deh, masih banyak kebutuhan bulan ini. Mudah-mudahan bulan depan ada rezeki lebih bisa buat sedekah…”

Sebelum kita terus menerus mencari alasan untuk menunda bersedekah, saya ingin berbagi kisah tentang seorang kawan yang bercerita tentang Ayahnya. Ini bukan sebuah bentuk keluhan si anak terhadap Ayahnya, melainkan pelajaran berharga yang diterima anaknya dari apa yang Ayahnya lakukan setiap saat di masa tuanya. Menurut kawan saya ini, setidaknya setiap bulan sekali Ayahnya selalu minta sejumlah uang kepada anaknya untuk bisa bersedekah. Ia sama sekali tidak merasa keberatan dengan permintaan tambahan dari Ayahnya ini meski setiap bulan ia juga telah menyisihkan rezekinya untuk biaya hidup orang tuanya.

Alhamdulillah, ia selalu bisa memenuhi apa yang diinginkan orang tuanya, termasuk saat ia menghajikan kedua orang tuanya beberapa tahun silam. Setiap tahun ia memiliki rezeki untuk berqurban pun, tak pernah lupa ia memberikan seekor hewan qurban atas nama Ayah atau ibunya. Dalam kesempatan lain, misalnya ketika ada acara santunan anak yatim dan dhuafa, Ayahnya selalu minta kepada kawan saya untuk mengeluarkan uang santunan dan diatas namakan Ayahnya.

Pernah suatu hari, malam-malam Ayahnya menelepon agar anaknya segera menyetor sejumlah uang. “Besok warga berkumpul, untuk masing-masing bisa menyumbang untuk renovasi masjid. Ayah malu kalau tidak bisa menyumbang apa-apa…” Beruntung kawan saya ini sedang ada rezeki, sehingga pagi harinya ia bisa mengirim uang senilai yang diharapkan Ayahnya. Di hari lain, si Ayah pun berharap anaknya mau membelikan beberapa puluh pasang sepatu untuk anak yatim di sekitar rumahnya. Ayah kawan saya ini sangat ingin dekat dengan anak yatim, terlebih di masa tuanya yang sudah tidak disibukkan dengan berusaha mencari nafkah dan urusan dunia lainnya. Semua itu tentu saja atas nama sang Ayah, meski uangnya dari anaknya.

Belum lama, lagi-lagi Ayahnya memerlukan sejumlah uang yang tidak sedikit. Rupanya, ia punya keinginan lama yang belum sempat diwujudkan, yakni mengundang sekitar seratus warga dhuafa di lingkungan rumahnya untuk makan bersama, walau sekadar kecil-kecilan. “Sudah lama Ayah ingin mengundang mereka makan di rumah kita, cita-cita ini sudah pernah Ayah utarakan ke ibumu dulu waktu kau masih sekolah” ujar sang Ayah.

Ia Ayah yang beruntung, memiliki anak-anak yang tak pernah mengeluh memenuhi keinginan orang tuanya. Kawan saya, beserta adik-adiknya bergantian mencukupi keperluan orang tua termasuk beragam keinginan beramal shalih dan sedekah sang Ayah. Santunan anak yatim, berqurban, berhaji, memberi makan fakir miskin, ditambah sedekah harian untuk setiap pengemis yang mampir ke rumahnya atau ia temui di jalan, semuanya disediakan oleh anak-anaknya.

Suatu hari, kawan saya pernah bertanya kenapa Ayahnya begitu menggebu untuk terus menerus bersedekah di hari tuanya. Jawaban sang Ayah atas pertanyaannya itulah yang membuat kawan saya ini tak pernah mengeluh jika sang Ayah meminta bantuan untuk memberi sedekah. Bukankah dengan membantu sang Ayah bersedekah maka iapun akan mendapat nilai yang sama baiknya dengan sang Ayah? Allah pasti tahu, jika sedekah atas nama dirinya menjadi berkurang lantaran ia lebih sering bersedekah untuk dan atas nama Ayahnya.

Untuk pertanyaan yang diajukan kawan saya itu, sang Ayah mengungkapkan bahwa ia dulu termasuk orang-orang yang sering menunda bersedekah. Bahkan karena terlalu sering menunda sedekah, uangnya justru terpakai untuk kebutuhan lain. Niat bersedekahnya tinggal niat, karena lebih sering tidak terlaksana karena kerap dengan sengaja ditunda-tunda. Ia yang berpikir akan selalu ada kesempatan berikutnya untuk beramal salih, zakat, infak dan sedekah, sekarang menyesali keadaannya yang tak memiliki kesanggupan untuk banyak bersedekah. Ia yang selalu mengira di masa tua akan bisa menikmati berdekatan dengan Allah dengan memerbanyak ibadah dan banyak bersedekah, justru terus menerus diselimuti kecemasan karena merasa sedekahnya sangat kurang.

Padahal selagi masih produktif, Ayahnya tergolong orang sukses dan bisa banyak mengunjungi panti asuhan dimanapun. Selagi masih berpenghasilan, Ayahnya termasuk orang yang mampu menyantuni ratusan anak yatim setiap bulan, namun sering lupa ia tunaikan. Selagi masih muda dengan karir yang bagus, sangat mudah bagi sang Ayah untuk bersedekah terus menerus tanpa henti. Penghasilannya yang jauh di atas rata-rata orang di sekitarnya kala itu, semestinya bukan hal sulit bagi Ayahnya untuk berderma kepada fakir miskin.

Nyatanya, waktu benar-benar cepat berlalu. Rasanya baru kemarin ia mengira akan ada waktu di hari esok untuk beramal salih, kiranya baru kemarin ia berkata, “besok saja saya bersedekah”, hari ini usianya sudah tak lagi produktif mencari nafkah, bahkan ia harus menggantungkan hidupnya kepada anak-anaknya. Ia mengira waktu masih akan sangat panjang baginya, ia menyangka akan ada waktu di masa tua untuk perbanyak bekal menuju kampung akhirat. Di matanya, baru kemarin ia masih memiliki penghasilan memadai untuk membeli segala yang ia inginkan. Sekarang, untuk bersedekah pun harus mengandalkan anak-anaknya.

“Selagi masih kaya, selagi masih muda, selagi masih produktif, banyak-banyaklah beramal shalih dan bersedekah, atau kamu akan menyesal seperti Ayah yang sudah setua ini namun baru menyadari bahwa bekal Ayah sangat kurang untuk berjumpa dengan Allah…” ujar kawan saya menirukan kata-kata Ayahnya.

Sobat, senang rasanya bisa membagi kisah ini, sesenang ketika saya mendapat cerita ini dari kawan saya itu. Mumpung masih muda, mumpug masih punya harta, sedekahlah. Jangan tunggu saat kita bingung dan sedih lantaran tak memiliki apapun untuk dibagi. Belum tentu kelak di masa tua kita seberuntung Ayah kawan saya, yang memiliki anak-anak berjiwa dermawan. (Gaw)

Sabtu, 24 Januari 2009

Masih Senang Buang Nasi?

Masih senang buang nasi? saya selalu teringat kalimat ini dan rasanya takkan pernah lupa. Adalah ibu yang pernah mengutarakannya dulu saat saya kecil. Setiap kali waktu makan tiba, ibu menyediakan kelima anaknya untuk makan masing-masing sepiring. Dan saya, salah satu dari dua anak ibu yang gemar membuang-buang nasi pada saat makan. Maksudnya, setiap kali ibu luput mengawasi makan kami, saya membuang nasi ke selokan, atau ke tempat sampah dengan berbagai alasan; kenyang, makanan tidak enak, sedang tidak selera makan, atau sekadar mengejar ketinggalan dari saudara-saudara yang lain yang tumpukan nasi di piringnya sudah hampir habis.

Tapi ibu selalu tahu kalau saya melakukan itu, seketika kalimat itu pun terdengar, "masih terus membuang nasi?". Tak hanya itu, seperti penceramah di masjid pada saat sholat Jum'at -begitu saya menilai ibu saat menasehati kami dulu-, tak berhenti bicara sebelum anaknya ini benar-benar menunjukkan penyesalan. Keluarnya khotbah ibu tentang anak-anak terlantar yang bertemu nasi seperti menanti matahari di musim penghujan, mereka yang tak pernah bermasalah soal rasa makanan. Karena masalah mereka bukan pada rasa, tetapi pada wujud fisik makanan yang jarang mereka dapatkan. Berceritalah ibu tentang kaum fakir yang untuk bisa makan sekali sehari, selaut peluh harus terkucur deminya, segunung doa tak henti dipanjatnya untuk sesuap nasi di hari itu, lelah pun tak pernah ada dalam perjalanan panjang mereka mengganjal perut kosongnya.

Lagi-lagi saya membuang nasi, juga diwaktu makan siang bersama abang dan adik. Si bungsu manis dari keluarga kami pun berteriak, "bu, abang buang nasi lagi...". Tiba-tiba saya mendelik dan menampar piring milik si manis. Lalu saya bilang ke ibu, "abang cuma dikit kok, itu buktinya adik yang lebih banyak membuang nasinya," kilah saya tak mau kalah.

Tapi ibu tetap tahu siapa yang bersalah sebenarnya. Saya mendapat hukuman tak mendapatkan makanan untuk malam hari. Di waktu makan malam, saya tak diperkenankan berada di ruang makan. Anak nakal ini diminta untuk merenungi perbuatannya siang hari. Tak banyak yang bisa direnungkan anak sekecil saya waktu itu, selain satu hal yang bisa dirasa; "begini rasanya telat makan..." benar-benar menderita. Saya juga mendapati pelajaran berharga, tidak enak rasanya hanya menjadi penonton orang-orang yang sedang nikmat menyantap makanan, terlebih jika yang dimakan adalah penganan kegemaran saya. Terbersit harap, abang dan adik-adik berbaik hati tak melahap habis semua makanan dan menyisakan sedikit saja untuk saya. Semoga

Ternyata hukuman ibu tak sekejam yang saya kira. Ibu tetaplah manusia paling baik sedunia. Usai waktu makan malam ibu memanggil dan mempersilahkan saya duduk di meja makan. Nasi pun tersedia, semur tahu nikmat buatan ibu yang tadi membuat tenggorokan ini sempat tergelegak pun lahap disantap. Nikmatnya. Ternyata, nasi lebih nikmat untuk dimakan ketimbang dibuang. Dan sungguh, teramat banyak saudara kita yang nyaris tak pernah menikmati makanan senikmat yang kami punya.

***

Sungguh saya tak henti menangis, setiap kali mendengar dan melihat banyak orang membuang makanan yang tak termakan. Setiap kali mendengar bahwa teramat banyak restoran dan hotel yang lebih rela membuang sisa makanan ketimbang membagi-bagikannya kepada orang yang lebih membutuhkan. Setiap kali mendengar berita di televisi tentang orang-orang yang mulai menyantap nasi bekas (aking), atau anak-anak yang menjadikan batang pohon sebagai santapannya, lantaran tak ada lagi yang bisa dimakan.

Miris hati ini, ketika mendengar sekeluarga di Indramayu keracunan setelah menyantap jamur yang diambil dari kebun belakang rumah mereka. Mereka terpaksa makan jamur karena tak lagi ada yang bisa dimakan, dan jamur menjadi pilihan terakhir untuk mengganjal perut kerontang mereka.

Masihkah kita senang membuang nasi?

Bayu Gawtama

Cinta Yang Takkan Pernah (Mampu) Terbayar

Lutfia, bukan siapa-siapa. Tapi ia menjadi seseorang yang akan disebut namanya di Surga kelak oleh Yusuf, anak tercintanya. Dan ia akan menjadi satu-satunya yang direkomendasikan Yusuf, seandainya Allah memperkenankannya menyebut satu nama yang akan diajaknya tinggal di Surga, meski Lutfia sendiri nampaknya takkan membutuhkan bantuan anaknya, karena boleh jadi kunci surga kini telah digenggamnya.

Bagaimana tidak, selama dua hari Lutfia menggendong anaknya yang berusia belasan tahun mengelilingi Kota Makassar untuk mencari bantuan, sumbangan dan belas kasihan dari warga kota, mengumpulkan keping kebaikan dan mengais kedermawanan orang-orang yang dijumpainya, sekadar mendapatkan sejumlah uang untuk biaya operasi anaknya yang menderita cacat fisik dan psikis sejak lahir.

Tubuh Yusuf, anak tercintanya yang seberat lebih dari 40 kg tak membuat lelah kaki Lutfia, juga tak menghentikan langkahnya untuk terus menyusuri kota. Tangannya terlihat gemetar setiap menerima sumbangan dari orang-orang yang ditemuinya di jalan, sambil sesekali membetulkan posisi gendongan anaknya. Sementara Yusuf yang cacat, takkan pernah mengerti kenapa ibunya membawanya pergi berjalan kaki menempuh ribuan kilometer, menantang sengatan terik matahari, sekaligus ratusan kali menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang kering sekering air matanya yang tak lagi sanggup menetes.

Ribuan kilo sudah disusuri, jutaan orang sudah dijumpai, tak terbilang kalimat pinta yang terucap seraya menahan malu. Sungguh, sebuah perjuangan yang takkan pernah bisa dilakukan oleh siapa pun di muka bumi ini kecuali seorang makhluk Tuhan bernama; Ibu. Ia tak sekadar menampuk beban seberat 40 kg, tak henti mengukur jalan sepanjang kota hingga batas tak bertepi, tetapi ia juga harus menyingkirkan rasa malunya dicap sebagai peminta-minta, sebuah predikat yang takkan pernah mau disandang siapapun. Tetapi semua dilakukannya demi cintanya kepada si buah hati, untuk melihat kesembuhan anak tercinta, tak peduli seberapa besar yang didapat.

Tidak, ia tak pernah berharap apa pun jika kelak anaknya sembuh. Ia tak pernah meminta anaknya membayar setiap tetes peluhnya yang berjatuhan di setiap jengkal tanah dan aspal yang dilaluinya, semua letih yang menderanya sepanjang jalan menyusuri kota. Ibu takkan memaksa anaknya mengobati luka di kakinya, tak mungkin juga si anak mengganti dengan seberapa pun uang yang ditawarkan untuk setiap hembusan nafasnya yang tak henti tersengal.

Lutfia, adalah contoh ibu yang boleh jadi semua malaikat di langit akan mengagungkan namanya, yang menjadi alasan tak terbantahkan ketika Rasulullah menyebut "ibu" sebagai orang yang menjadi urutan pertama hingga ketiga untuk dilayani, dihormati, dan tempat berbakti setiap anak. Lutfia, barangkali telah menggenggam satu kunci surga lantaran cinta dan pengorbanannya demi Yusuf, anak tercintanya. Bahkan mungkin senyum Allah dan para penghuni langit senantiasa mengiringi setiap hasta yang mampu dicapai ibu yang mengagumkan itu.

Sungguh, cintanya takkan pernah terbalas oleh siapapun, dengan apapun, dan kapanpun. Siapakah yang lebih memiliki cinta semacam itu selain ibu? Wallaahu 'a'lam

Bayu Gawtama
jelang hari ulang tahun ibu